Stranded in Istanbul (Part 3): Saying Good Bye to Hagia Sophia

“Siapa ya si Cingiz itu? Kata si penjual magnet kulkas, dia itu terkenal di Jepang. Sampe manajer Seven Hills Restaurant aja ngasih diskon buat kita modal kasi tau kalo kita temennya.” kata si Nyonya yang masih keheranan dengan pengalaman kami bertemu dengan seorang pria Turki yang kocak namun baik hati tersebut. Kami mencoba men-google namanya namun tidak menemukan apapun. Siapa pun dia, Cingiz telah membuat liburan kami di Istanbul menjadi lebih menyenangkan dan seru.

Hari ini adalah hari terakhir dari perjalanan honeymoon trip kami. Setelah berkelana selama 19 hari dari Italia, Yunani, Georgia dan akhirnya Turki, kami harus kembali ke tanah air sore ini. Berhubung waktu masih panjang dan kami masih bisa menggunakan Istanbul Museum Pass kami, kami memutuskan untuk mengunjungi Hagia Sophia.

Pagi itu angin berhembus dingin dari arah Laut Marmara menuju Sultanahmet. Kami yang sudah menghangatkan diri dengan kopi panas dan sarapan yang lengkap pun sesekali menggigil. Walaupun bulan Juli termasuk musim panas, pagi dan malam di Istanbul masih menyisakan suhu yang rendah. Kami berjalan dari Tria Hotel menuju Sultanahmet Meydani dan gereja karya agung Kaisar Justinian itu pun terlihat megah berdiri di hadapan kami. Hagia Sophia selalu memberikan saya suatu perasaan hangat dan agung. Gereja yang dibangun oleh Kekaisaran Byzantium ini telah menjadi saksi hidup berbagai peristiwa bersejarah sejak berdirinya. Kerusuhan akibat gerakan Ikonoklastik, penjarahan oleh Prajurit Perang Salib ke IV, Penaklukan Ottoman yang kemudian mengubah jati dirinya menjadi mesjid sampai bangkitnya Republik Turki dibawah pimpinan Ataturk yang kemudian mengubahnya menjadi museum.

 

Sebagai salah satu gereja terbesar pada zamannya, Hagia Sophia merupakan pusat keagamaan Kristen Orthodox yang kala itu berpusat pada Kekaisaran Byzantium. Hagia Sophia dibangun untuk menjadi pusat kekristenan seperti Bait Allah bagi orang Yahudi. Tidak heran setelah gereja ini selesai dibangun, Kaisar Justinian bergumam, ” Wahai Salomo, aku telah melampauimu.” Berbagai mosaik emas bertema kekristenan dan Kekaisaran Byzantium menghiasi dinding gereja dengan detail yang membuat mata terkagum-kagum dibuatnya. Kubah gereja seperti terbang dalam sinar mentari yang menyeruak dari celah-celah dibawahnya. Sungguh membuat kagum setiap orang yang memandang dari segala zaman. Bahkan setelah banyak mosaik diplaster oleh Kesultanan Ottoman yang mengubahnya menjadi mesjid, keanggunan Hagia Sophia masih tak tertandingi dan memiliki suatu identitas baru dengan fusi budaya Islam dan Kristen.

Sekarang kami melangkah masuk melewati gerbang kekaisaran dan memasuki ruang utama yang kala itu sedang mengalami proses renovasi. Si Nyonya yang biasanya tidak begitu tertarik dengan bangunan kuno pun langsung mengambil kamera dan mengabadikan pemandangan interior Hagia Sophia. Saya yang sudah tiga kali memasuki bangunan bersejarah ini pun masih terpukau dengan keindahannya. Sesekali saya memotret dan mengenang saat saya mengunjungi tempat ini. Mosaik Bunda Maria dan Kanak-Kanak Yesus yang diapit oleh tulisan kaligrafi Arab Allah dan Nabi Muhammad tetap merupakan pemandangan yang mengharukan bagi saya. Mosaik Deisis yang sudah rusak masih menunjukkan keagungannya di hadapan para pengunjung yang tiada henti memotretnya.

hery
“Makam” Enrico Dandolo

 

Usai menikmati karya mosaik Kekaisaran Byzantium, saya pun kemudian mencari makam Enrico Dandolo, sang pemimpin Perang Salib ke IV. Jika anda pernah menonton film Inferno yang dibintangi oleh Tom Hanks, anda pasti tahu adegan ketika karakter Robert Langdon mengunjungi Hagia Sophia untuk memecahkan misteri virus berbahaya yang mengancam penduduk. Setelah berjalan berkeliling, saya pun menemukan marmer bertulisan Henricus Dandolo (nama latin dari Enrico Dandolo). Marmer yang dulunya merupakan penanda makamnya ini sekarang hanyalah kenangan dari sisa kuburan sang Doge yang tersisa. Menurut legenda, kuburan aslinya dihancurkan oleh pasukan Byzantium yang merebut kembali kekuasaan mereka pasca Perang Salib ke IV. Agaknya mereka sangat jijik melihat jenazah si pemimpin Perang yang meluluh-lantakkan Constantinople (nama Istanbul dulu) dan melemparkan tulangnya ke kawanan anjing.

20170707_092351

Setelah mengunjungi makam Enrico Dandolo, kami mencari pilar permohonan atau Wishing Pillar yang terdapat di Hagia Sophia. Konon barangsiapa yang memasukkan jempolnya ke lubang di pilar ini, memutarnya searah jarum jam dan mendapati jempolnya basah, maka permohonannya akan dikabulkan. Tentu saja ini hanya legenda dan kami hanya iseng mencobanya. Lempengan tembaga di pilar ini tampak sudah dipoles oleh jutaan tangan yang pernah mencoba keampuhan pilar ini. Permohonan saya waktu itu adalah kembali lagi ke Turki. Akankah permohonan saya ini dikabulkan?Ah hanya waktu yang tahu.

Setelah menikmati makan siang, kami pun kemudian kembali ke hotel untuk mengambil tas kami. Langkah demi langkah terasa sangat berat bukan karena bawaan oleh-oleh dan tas yang semakin berat,namun karena kami akan meninggalkan kota yang sangat berkesan ini. Tram no 1 yang membawa kami ke Zeytinburnu untuk berganti dengan Metro menuju Ataturk Airport pun terasa sangat cepat membawa kami. Saya menatap jendela dengan perasaan haru saat melewati Cemberlitas, Grand Bazaar dan tempat lain yang pernah saya kunjungi. Karena bengong melihat pemandangan, kami pun salah keluar tram dan kebingungan melihat tidak ada koneksi dengan metro. Akhirnya saya pun bertanya dengan penduduk setempat yang kemudian mengatakan saya salah turun dan saya bisa menumpang busway menuju Zeytinburnu. Busway? huh? Seolah tidak percaya kami pun mengikuti petunjuk jalan menuju stasiun busway terdekat. Ternyata benar, Istanbul punya busway dan bisnya berukuran sama persis dengan bis Transjakarta namun lebih cepat karena jalurnya benar-benar steril. Dengan hanya kurang dari 10 menit, kami pun sampai di Zeytinburnu dan sampai di Airport setelah menumpang metro.

Demikianlah akhir dari perjalanan honeymoon kami. 19 hari mengarungi benua Eropa dan Asia. Suatu perjalanan yang seru dan tentu saja kami sebagai pasangan semakin mengerti karakter kami masing-masing. Sungguh, backpacking honeymoon is the best thing we have ever done as a couple. We did it, how about you?

IMG20170707110815
The Honeymoon Backpacker

One comment

Leave a Reply