Setelah menyiksa badan dan menghibur mata dengan pemandangan kota Barcelona yang menurut gue cakep banget, gue pun naek pesawat ke Santiago de Compostela. Lah bukannya Santiago de Compostela itu tujuan akhir Camino, nape ke sini dulu? Ya mau gimana lagi, gue mesti mampir ke tujuan akhir gue di awal perjalanan lantaran dari Santiago lah gue bisa naek bis ke Valenca do Minho, Portugal.
Dan sampelah gue di bandara Santiago yang super kecil dan hanya itungan menit aje gue uda ada di bis kota yang bakal nganter gue ke Praza Galicia, tak jauh dari pusat kota Santiago. Gue agak ragu nyebut Santiago sebagai kota, karena di bayangan gue yang gede di Jakarta, kota itu gede n rame. Di perjalanan gue, cuma liat komplek perumahan kayak di daerah suburban Amerika yang sepi trus ketika nyampe di pusat kota, situasi pun ga banyak berbeda. Orang-orang yang lewat kebanyakan penziarah ato penduduk lokal yang ga rame2 amat.
Albergue Seminario Menor. Bangunan tua, bekas gedung seminari dan terletak di kawasan Belvis yang artinya pemandangan indah.
Begitu kata iklan di Booking.com, dan gue langsung tertarik. Hanya satu yang gue ga prediksi. IT’S LOCATED ON A FREAKIN’ HILL!!.
Gue yang kayaknya udah hampir 24 jam ga tidur,bawa tas sekitar 9kg, sekarang mesti mendaki bukit Belvis tempat si penginapan duduk manis menunggu gue nyamperin. Oh boy… Gue belom makan pula. Yodalah..mo gimana lagi.
Dan akhirnya gue pun jalan dengan semangat 45 mendaki jalanan nanjak ke penginapan yang emang megah dan pastinya tinggi tersebut. Beberapa penziarah yang ternyata sudah menyelesaikan camino mereka bergabung dengan gue.
Dan setelah berjalan ngos2an, gue pun sampe di lobi albergue dimana gue dikasi kunci kamar. ” Your room is on the right wing, 4th floor.” Gedung ini nuansanya tua dan antik, liftnya pun meraung setiap kali naek ato turun. Tapi emang gue punya fetish ma bangunan antik gue malah girang. Selasar gedung tampak luas dan banyak pintu2 kamar kecil yang dulunya ditinggali oleh para calon romo. Kamar gue simple, cuma ada satu tempat tidur dan wastafel, tapi pemandangannya luar biasa. Belvis. Pemandangan indah, ini ga boong.
Gue baru inget kalo gue belom makan abis gue mandi bermodal lampu headlamp. Yep, di bangunan2 eropa sering sekali mereka pake lampu motion sensor, jadi klo lagi mandi emang mendingan bawa senter dripada gelap2an kan? Masalahnya, albergue ini jauh kemana2 dan yang terdekat cuma bar yang nyajiin bocadillo n bir. Tapi ya mau gimana lagi, itulah yang bisa gue makan. Daripada makan coklat dari vending machine.
Then, gue mulai iseng. Nanyain dimana klinik terdekat buat test PCR sebelum pulang. Penjaga albergue bilang ada klinik sekitar 20 menit jalan dari sini. Gue yang pengen segala perkara PCR ini kelar akhirnya pergi menuruni bukit demi ke klinik walau jam sudah jam 9 malem.
Of course, semua klinik udah tutup. Jadilah gue nyiksa diri lagi jalan naek bukit demi perburuan PCR yang sia2.
Dan lebih herannya lagi, setelah semua beban capek yang gue rasa, gue cuma bisa tidur 5 jam.
24081 langkah