Sarajevo, bosnia

From Mostar to Sarajevo : A Visit To Little Jerusalem (part 2)

Ramai. Inilah kesan yang kami dapat ketika berada di dalam tram Sarajevo. Tram yang hanya memiliki tiga gerbong ini penuh dengan penumpang sehingga kami harus berdesak-desakan mirip kondisi bis Transjakarta ketika pulang kerja. Kami pun kebingungan ketika mau memvalidasi tiket yang sudah kami beli. Di tengah kerumunan orang, kami celingak-celinguk mencari mesin validasi. Tidak seperti tram di Praha yang memiliki beberapa mesin validasi, tram Sarajevo kelihatannya tidak memiliki mesin validasi. Ketika bertanya dengan bahasa isyarat kepada seorang wanita Bosnia di depan kami, dia hanya tersenyum dan melambaikan tangannya seolah menyatakan tidak perlu validasi. Kami pun makin heran. Setelah sebagian besar penumpang turun, kami melihat mesin validasi terletak di gerbong belakang tram. Kami pun kemudian memasukkan tiket ke mesin validasi dan yang lebih aneh lagi adalah tidak ada tanda apapun yang tercetak di tiket. Tidak ada tanggal validasi atau tanda kalau tiket ini sudah divalidasi. Penumpang lain hanya tersenyum melihat ulah kami yang memasukkan tiket berkali-kali ke mesin. Hmmm..apa ini artinya ga usah validasi?

Bascarsija

Tram pun sampai di halte Bascarsija dan kami langsung disambut oleh pemandangan ala Ottoman di halaman Bascarsija. Bascarsija dibangun oleh bangsa Turki yang datang ke Sarajevo pada abad ke 15. Bascarsija yang berarti “pasar utama” dalam bahasa Turki telah menjadi pusat aktivitas perdagangan di Sarajevo dan sekarang berubah menjadi tempat tujuan wisata. Bascarsija masih kental dengan nuansa Ottoman. Sebuah air mancur yang di sebut Sebilj berdiri di tengah kerumunan orang dan merpati. Ya, anda tidak salah baca, merpati. Burung yang jinak ini banyak berkeliaran di Bascarsija. Saking banyaknya, nama lain Bascarsija adalah Pigeon Square atau Pelataran Merpati. Hati-hati dengan serangan udara yang mungkin akan mengotori pakaian atau kepala anda. Jika melempar koin di Trevi Fountain adalah kebiasaan turis di Roma agar bisa kembali ke sana, maka di Sarajevo, kebiasaan serupa adalah minum air dari Sebilj. Untuk menghormati tradisi ini dan memang ngarep buat ke Bosnia lagi, saya pun kemudian meminum air dari air mancur yang kesohor ini. Rasa air yang segar dan bersih membuat saya kemudian malah mengisi botol minum sekalian.

Cevapi Street

Saya dan nyonya pun kemudian berjalan mengeksplorasi wilayah kota yang serasa diimpor dari Turki ini. Kami melewati toko-toko dan restoran yang menjual makanan ala Balkan dan tentu saja makanan Turki. Harumnya aroma daging panggang menggoda indra penciuman kami dan tentu saja membuat saya makin kangen dengan Turki.Jalan yang ramai dengan restoran ini disebut Cevapi Street oleh penduduk lokal. Banyaknya penjual Cevapcici di jalan ini membuat tempat ini ideal untuk makan siang. Selain harganya yang relatif terjangkau, restoran di jalan ini juga merupakan tempat yang cocok untuk menikmati suasana Sarajevo. Kami menunda makan siang kami dan melanjutkan berjalan ke Coppersmith Street. Coppersmith Street atau Kazandziluk adalah nama jalan tempat para pengrajin perunggu membuat dan menjual perkakas rumah tangga buatannya. Gelas, coffee set, sampai piring pun dijual disini. Jika anda ingin membeli Coffee set ala Bosnia sebagai oleh-oleh, anda bisa membeli disini. Harganya tentu tidak murah namun kualitasnya cukup baik.

Taslihan

Langkah kaki kami menghantarkan kami ke sebuah reruntuhan caravanserai yang bernama Taslihan. Caravanserai merupakan tempat para saudagar beristirahat setelah perjalanan jauh mengantarkan komoditi perdagangan. Bangunan seperti ini lazim ditemui sepanjang Jalur Sutra terutama yang berada di Turki, salah satunya adalah Buyuk Valide Han yang ada di Istanbul.  Bangunan penginapan ini sekarang berfungsi sebagai restoran dan cafe yang masih menarik banyak orang untuk berkumpul seperti masa jayanya dulu. Setelah melewati caravanserai, kami kemudian melanjutkan perjalanan kami ke arah sungai Miljacka.

Latin Bridge

Sungai Miljacka terkenal karena suatu insiden yang kemudian menyeret negara-negara di dunia dalam suatu drama peperangan yang memilukan. Tak jauh dari sungai ini, tepatnya di Latin Bridge, Putra Mahkota Kerajaan Austro-Hungaria Franz Ferninand ditembak hingga tewas oleh Gavrilo Princip yang merupakan opening salvo dari Perang Dunia I. Jembatan yang terbuat dari batu ini diberi nama Latin Bridge karena pada zaman Ottoman, daerah ini merupakan tempat tinggal banyak umat Katolik yang menggunakan bahasa Latin dalam misa. Di dekat jembatan ini terdapat sebuah penanda tempat Gavrio Princip menembak sang pewaris tahta Austro Hungaria. Kami melihat banyak turis yang terkesima akan sejarah gelap tempat ini termasuk saya sendiri. Tempat yang begini indah kemudian memiliki catatan gelap dalam sejarah.

IMG20180625131422
Ferhadija yang kaya citarasa Eropa
IMG20180625131406
Ferhadija rasa Ottoman

Meninggalkan Latin Bridge, kami berjalan menuju sisi Sarajevo yang lain. Sisi Sarajevo yang berbanding terbalik dengan kawasan Bascarsija yang bernuansa Ottoman ini bernama Ferhadija. Jalan Ferhadija bernuansa Eropa Barat dengan bangunan-bangunan Neo Baroque berjejer di kiri kanan jalan dan membuat kami serasa di Vienna atau kota Eropa lain. Ketika kekuasaan Ottoman melemah,dan wilayah Bosnia diserahkan ke Kekaisaran Austro-Hungaria, kekuatan utama Eropa saat itu tidak menunggu lama untuk membangun Bosnia. Kucuran dana dikeluarkan untuk membangun jalan dan gedung dengan cita rasa Eropa. Jadilah Sarajevo dengan bangunan Ottoman yang konservatif dan bangunan modern ala Austria. Uniknya, di jalan Ferhadija ini terdapat tanda Sarajevo: Meeting of Culture. Di tanda ini, anda dapat berfoto dengan latar pemandangan ala Ottoman dengan mesjid dan rumah khas Ottoman dan kemudian berbalik badan untuk berfoto dengan latar pemandangan ala Austria dengan gedung-gedung khas Eropa.

Setelah berselfie-ria, kami kemudian berjalan menikmati pemandangan baru yang masih membuat kami terkagum-kagum. Serasa baru saja berangkat dari Istanbul dan semenit kemudian berada di Austria. Kawasan ala Eropa Barat ini juga merupakan tempat banyak tempat peribadatan dari beberapa agama besar berada. Kita bisa menemukan gereja Katolik, Sinagoga Yahudi, gereja Orthodox, dan mesjid dalam sebuah kompleks. Jalan Ferhadija bermuara di sebuah gereja Katolik yang pernah dikunjungi oleh Paus Yohanes Paulus II. Di depan gereja ini terdapat plakat dan patung sang Paus yang pada tahun 1997  mengunjungi Sarajevo yang tengah berbenah pasca Perang Bosnia. Pada saat pengepungan Sarajevo, gereja ini sering menjadi sasaran empuk para sniper dan serangan mortar. Jika anda jeli, anda bisa menemukan Sarajevo Rose, bukan bunga tapi tanda berwarna merah di sekitar gereja. Sarajevo Rose ini merupakan bekas hantaman mortar yang kemudian disiram resin merah untuk mengenang peristiwa pengepungan Sarajevo. Ada dua Sarajevo Rose yang saya temukan di sekitar gereja. Suatu penanda yang kelam namun penting agar generasi selanjutnya mengerti mahalnya arti kata “damai”. Jika anda tertarik dan ingin tahu banyak tentang perang Bosnia, anda bisa mengunjungi Srebenica Exhibition yang menjelaskan lebih jauh tentang apa yang terjadi pada saat-saat kelam tersebut.

IMG20180625150149
Bermain catur raksasa

Tak jauh dari gereja Katolik, terdapat gereja Orthodox Serbia yang dibangun dari sumbangan Keluarga Romanov dari Rusia, Sultan Ottoman dan pangeran Serbia. Uniknya, bangunan gereja Orthodox ini tidak seperti gereja orthodox pada umumnya. Gereja ini memiliki menara lonceng yang lazimnya terdapat pada gereja Katolik. Ketika mengagumi keindahan gereja ini, kami melihat sekelompok bapak-bapak yang sedang bermain catur berukuran besar. Mereka berbicara dalam bahasa Bosnia dan saling mengadu strategi. Yang satu berbisik ke yang lain dan ada pula yang saling menertawakan langkah lawannya. Seru bagai nonton pertandingan catur ala grup. Di sekitar gereja ini terdapat taman yang cukup nyaman untuk nyantai sejenak. Saya dan si Nyonya duduk sebentar di bangku taman dan beristirahat sebentar. Sayang waktu kami di Sarajevo hanya sebentar, jam 4;30 nanti kami harus berangkat lagi menuju Mostar dengan kereta api. Sarajevo sangat menyenangkan dan begitu banyak yang bisa dilihat. Kami bahkan tidak sempat mengunjungi museum-museum dan juga Sarajevo Tunnel yang merupakan satu-satunya penghubung Sarajevo dengan dunia luar saat dikepung. So much to see, yet so little time.

IMG20180625135940
Cevapcici

Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke Cevapi Street untuk menikmati makan siang. Kembali lagi menuju jalan yang penuh dengan penjual cevapcici dan terus terang sulit menentukan yang mana yang akan kami pilih. Akhirnya kami pun memilih satu restoran yang banyak dipenuhi penduduk lokal. Sebuah cevapcici dan dua botol coca cola pun kemudian kami pesan. Cevapcici adalah makanan pemberian dinasti Ottoman bagi bangsa Balkan. Makanan ini tersedia di sekitar wilayah Balkan yang dulu memang dikuasai oleh Kesultanan Ottoman. Daging cincang yang kemudian dipanggang lalu disajikan dengan saus paprika dalam roti besar dan irisan bawang yang harum merupakan sajian yang ngenyangin banget. Saya dan si Nyonya hanya membeli satu saja untuk berdua karena pengalaman kami memesan cevapcici di Lake Bled, kami malah kekenyangan dan sulit menghabiskannya. Kali ini kami puas dengan pilihan kami.Setelah menghabiskan satu cevapcici, mata saya tertuju pada pelang bertulisan Kunefe tak jauh dari restoran. Si nyonya pun tahu kalau saya sangat menyukai kudapan yang kata orang Indonesia terlalu manis ini. Tanpa tunggu lama, kami pun kemudian duduk dan menikmati sepiring kunefe yang lezat. Kunefe adalah makanan khas timur tengah yang banyak terdapat di Turki. Tampaknya, bangsa Ottoman juga membawa makanan ini ke Bosnia. Rasanya sama persis seperti yang pernah saya coba di Antalya. Lembut, manis dan sangat cocok jika dinikmati sama kopi pahit ala Bosnia.

Berbekal perut yang penuh dengan cevapcici dan kunefe, kami pun kemudian berjalan kembali ke kawasan Ferhadija. Berjalan menikmati suasana dan kemudian mampir ke sebuah supermarket. Saya iseng membeli sekaleng bir Sarajevsko yang merupakan bir andalan Sarajevo. Masyarakat Bosnia cukup terbuka perihal alkohol seperti Turki sehingga tidak sulit menemukan minuman alkohol disini. Setelah mendapatkan sekaleng Sarajevsko, kami pun berjalan menuju jalan Marsala Tita yang merupakan tempat kami menumpang tram kembali ke Stasiun kereta. Jalan Marsala Tita merupakan jalan utama tempat banyak kendaraan besar berlalu lalang, penuh dengan irama urban dan jauh berbeda dengan kondisi di Fehardija dan Bascarsija. Di awal jalan ini, kami menemukan monumen api abadi yang didirikan untuk mengenang jasa para pahlawan dan korban Perang Dunia Ke 2 di Bosnia. Api yang terus menyala ini kadang juga menjadi api penghangat ketika musim dingin tiba di Sarajevo.

Orthodox Church

Monumen api tersebut merupakan tujan terakhir kami di Sarajevo. Kami pun kemudian berjalan dan menunggu tram di depan Bank National Bosnia. Tram yang selalu ramai ini pun kemudian membawa kami kembali ke Halte Museum, tak jauh dari Kedutaan Amerika Serikat dan Stasiun Kereta. Jodoh kami dengan Sarajevo pun berakhir. Ada beberapa saat dalam perjalanan saya dimana saya menyesal tidak tinggal cukup lama di suatu tempat. Sarajevo adalah salah satunya. Saya merasa setidaknya saya harus 2-3 hari untuk menikmati ibukota Bosnia ini, bukannya beberapa jam. Rasa sesal pun tidak bisa menambah waktu yang terbatas. Ketika duduk di kereta menuju Mostar yang modern, mata saya tertuju pada pemandangan Bosnia yang begitu indah. Pegunungan, lembah dan sungai yang terus menghibur saya yang tengah kecewa karena begitu banyak yang belum saya lihat di Bosnia. Saya berjanji akan kembali lagi ke negara yang indah ini. Negara dimana Perang Saudara tidak memadamkan semangat para penduduknya untuk hidup dan berjalan maju ke masa yang lebih baik. Negara yang telah mengajarkan saya banyak hal akan mahalnya perdamaian dan begitu berharganya persatuan dalam perbedaan. Someday, I will be back again, Bosnia.

Leave a Reply