EJDER RESTAURANT, SELCUK
Artikel-artikel diblog ini memiliki afiliasi dengan situs-situs sponsor dan jika anda mengunjungi situs tersebut, penulis akan mendapatkan pemasukan dari situs tersebut.
“ There you go. This is a good bike. I enjoyed riding it.”
“ Really? Where did you go?”
“ I went to Meryemana (House of Virgin Mary) and Didim.”
“Didim? That’s so far away. You need to give me more money.”
“Of course not. Just kidding.”
Saya pun berlalu meninggalkan Fairuz, pemilik rental Meandros, sambil tersenyum pura-pura bego. Hari ini saya telah melampaui zona aman saya sebagai seorang traveler. Nekad membawa sebuah motor bebek berkeliling di negara yang baru pertama kali saya kunjungi. Dari ziarah di Rumah Bunda Maria di Gunung Bul-Bul, ngukur batu di teater kuno Miletus, nanya soal jodoh di Kuil Apollo Didyma, napak tilas Kisah Para Rasul di Efesus dan terakhir mampir di Kuil Artemis yang tinggal satu tiang dengan sarang burung bangau diatasnya. Gilak..beneran gilak. Seumur-umur belom pernah saya pergi sejauh dan seberani ini. Ada perasaan puas dan penuh kemenangan dalam hati saya. Suatu ego booster, perasaan gagah nan jantan karena berhasil menaklukkan ratusan kilometer dalam sehari dan pulang dengan selamat. Saya butuh perayaan. Mesti dirayain pencapaian ini.

Berjalan lunglai dengan perut lapar dan baju semi kumel akibat terpanggang sinar mentari dan dibasahi keringet, saya menyebrang Ataturk Caddesi, dengan bayangan Benteng Ayasoluk di belakang saya. Benteng yang bagai mahkota di atas bukit ini merupakan bangunan yang paling tinggi di Selcuk dan nyaris bisa dilihat dari manapun. Langkah kaki saya kemudian menghantarkan saya ke tempat dimana para turis dan penduduk lokal biasa mampir untuk makan, yaitu sekitaran aquaduk Byzantium,(lebih spesifik lagi deket stasiun kereta Selcuk). Ada banyak restoran di menghadap struktur penopang pipa air yang sudah berusia lebih dari satu milenia ini. Ketika sedang terpaku bingung hendak menentukan pilihan perut, seorang ahjussi Turki nyamperin dan menawarkan saya makan di restorannya. Dengan ramah, Omar menawarkan menu dan berkata,” It’s my mother’s cooking.” Well, mother = home cooking. Ah well, I am sold.Kalimat sederhana tersebut berhasil membuat saya duduk di kursi dengan buku menu di tangan saya.
Buat turis newbie yang pengetahuannya tentang kuliner Turki terbatas pada kebab, saya agak bingung melihat begitu banyak pilihan makanan yang tersedia. Setelah 2 menit membolak-balik menu, saya pun kemudian memberikan kepercayaan kepada Omar untuk memilihkan makanan buat saya.
“ Do you like chicken?”
Of course, I like chicken. Buat diri saya 6 tahun silam, daging yang paling aman untuk saya makan adalah ayam. Saya tidak begitu doyan sapi, apalagi babi. So chicken adalah pilihan paling aman. Omar kemudian menunjuk satu gambar makanan Instagrammable yang membuat saya tersenyum sumringah.
“ You will not regret this, brother.”
Yeah, try me. Demikian pikiran sinis campur lapar saya saat itu. Saya agak rese kalo lapar, sedikit kombinasi hangry (hungry and angry) yang membuat orang berpikir saya ada masalah padahal kagak. Tapi saya tak punya alasan untuk hangry saat itu. Gimana kagak. Keberhasilan petualangan hari ini, suasana malam di Selcuk yang masih terang dengan suara burung bangau dan TV besar di sebelah saya sedang menampilkan pertandingan Piala Dunia. It’s a wonderful night. I need to celebrate.
Saya pun kemudian memesan segelas Efes, bir andalan Turki namanya diambil dari nama kota kuno Efesus yang tak jauh dari tempat saya nongkrong sekarang. Mungkin banyak orang berpikir bahwa Turki sebagai negara dengan mayoritas Muslim tentu punya stigma tertentu dengan minuman alcohol namun sepengamatan saya, penduduk Turki ,kecuali di daerah timur yang lebih konservatif, memiliki pandangan yang lebih santai soal bir. Di supermarket seperti Lidl, Migros, dan Carrefour, bir dengan merk lokal seperti Efes, Tuborg bahkan merk manca negara seperti Heineken dijual bebas di etalase. Sedikit pelajaran etimologi (asal kata), beberapa ahli bahasa berspekulasi bahwa asal kata booze (minuman keras dalam bahasa Inggris) berasal dari kata Boza, sejenis minuman beralkohol yang berasal dari Turki. Konon pelaut-pelaut Inggris yang mampir ke Turki di zaman Kesultanan Ottoman tergila-gila dengan minuman fermentasi yang lezat ini dan begitulah sejarah bagaimana kata booze masuk dalam kosakata bahasa Inggris (konon loh ya…)
Omar datang dengan sekaleng Efes dingin dan sebuah gelas kosong yang kemudian segera terisi dengan cairan berwarna kuning keemasan dengan busa tipis di atasnya. Sekeranjang roti juga datang menemani. Roti dan bir. Dua makanan fermentasi pertama dalam sejarah manusia terpampang dihadapan saya seolah ingin mengajarkan pelajaran sejarah kuliner di tempat bersejarah ini. Lapar karena seharian belum makan pasca menikmati Kofte di postingan terdahulu, saya pun melahap roti tersebut dan dengan tak nyambungnya membilas dengan Efes. Bad idea. Ga nyambung banget. Untungnya Omar datang dengan pesanan saya setelah 30 menit menunggu dalam keramaian teriakan pendukung sepak bola di restoran sebelah.

Saat paling menyenangkan dalam menanti sesuatu adalah akhir dari penantian tersebut. Omar membawa satu baki dengan hidangan yang menurut saya saat itu tampak seperti sate raksasa. Tavuk Shish ( Chicken Shish atau dalam bahasa saya sendiri POTONGAN AYAM SURGAWI DITUSUK PEDANG). Mari saya jelaskan,
Satu piring dengan potongan daging ayam berwarna kuning keemasan dengan keharuman panggangan yang begitu menggoda indra disatukan dalam satu jalinan indah dengan tusukan logam tajam bersama tomat Turki bakar yang juicy. Setiap potongan daging terpanggang sempurna dengan bekas kecupan perapian yang tersebar rata di permukaan daging. Konon nenek moyang bangsa Turki yang berasal dari Asia tengah, terbiasa memanggang daging buruan mereka dengan pedang dan lahirlah kebab, shish, dan berbagai makanan panggang lainnya. Warisan dari nenek moyang mereka menyempurnakan khasanah kuliner yang sekarang semakin kaya dengan pengaruh bangsa-bangsa yang telah berada di Anatolia dan sekitarnya. Menemani sang menu utama adalah irisan kol merah dan sayuran segar yang menambah warna selera di piring putih yang tak bernoda ini. Ah jangan lupakan pilaf, nasi khas timur tengah yang rasanya mirip nasi bashmati ini rasanya eunakk…mengobati rasa kangen nasi yang sulit dilepaskan bagaikan cinta sejati bagi orang Indonesia.Bagaimana dengan rasaya? Mari saya jelaskan,Setiap gigitan daging terasa bagai menikmati daging yang telah dimasak dengan penuh cinta. Rasa gurih dengan kelembutan daging yang terpanggang sempurna membuat saya membayangkan ibu Omar memarinasi daging ini dengan lada, yoghurt, atau rempah-rempah lain yang tak saya kenal. Yang jelas kesempurnaan rasa ini baru bisa dicapai dengan memarinasi daging dan membiarkannya selama berjam-jam. Saya tahu ini karena sering mencicipi daging buatan si nyonya yang beda rasa tergantung lama marinasi. Rasa gurih sang daging kemudian beradu dengan rasa masam segar dari tomat bakar. Keduanya berpadu memberikan suatu harmoni rasa yang tak akan pernah terlupakan. Keharuman bau arang, gurihnya garam, minyak zaitun, dan rempah dijamin akan membuat lidah anda berebut giliran untuk menampung kelezatan daging dengan perut anda. IT IS THAT GOOD. Sertakan sesendok nasi pilaf yang pulen dan hangat bersamanya dan anda akan merasakan sensasi kelezatan karbo dan protein yang sempurna. Salad yang biasanya hanya menjadi figuran di restoran tanah air mendapatkan peran second lead di hidangan ini. Ksegaran kol dan sayuran yang telah diberi sedikit perasan lemon dan minyak zaitun akan membuat anda bersyukur bahwa di negara yang mahir mengolah daging ini, sayuran segar tak pernah jauh dari hidangan.

Mungkin banyak orang akan berkata, ah bikin chicken shish gampang, ada kok resepnya di Internet. Yeah mungkin, namun bagi saya, menikmati chicken shish di restoran Ejder karya bunda Omar mungkin tak akan bisa disamakan dimana pun juga. Duduk sambil menikmati hidangan dengan background taman dan Akuaduk Byzantium, suara adzan maghrib membahana di kejauhan, sinar mentari kemerahan yang mulai turun menuju peraduannya akan membuat anda ingin mengulangi pengalaman ini. Tidak percaya? Saya sendiri sudah tiga kali ke Selcuk dan selalu mendapatkan diri saya terpesona dengan hidangan dan pemandangan temaram di Ejder Restaurant, Selcuk.
Selcuk adalah kota kecil dimana sebagian besar industri pariwisatanya dikelola oleh keluarga. Dari restoran sampai hotel, anda akan menemukan si koki mungkin ayah atau ibu dari si pelayan dan si resepsionis adalah adik sepupu dari pemilik hotel. It’s a family business. Di tahun 2016 ketika saya mampir ke Selcuk, turisme sedang sepi akibat ancaman terorisme ISIS. Banyak hotel dan restoran keluarga ini mengalami penurunan pengunjung. Sekarang saat yang sama juga terjadi, pandemi menyerang dan membekap usaha mereka. Jika anda kebetulan mengunjungi Selcuk pada masa pandemi ini, cobalah mampir di restoran-restoran keluarga dan hotel kecil yang milik mereka. Sedikit banyak anda bisa membantu ekonomi mereka. Dijamin anda akan dilayani dengan penuh keramahan dan kesan baik akan selalu membuat anda kembali ke kota kecil kaya sejarah ini.