Thailand, Perbatasan, Malaysia, Hatyai

Hangover Trip 2011 : Memoar Lintas Thailand-Malaysia dengan Aroma Gas beracun dan Irama Dangdut Thailand

Artikel-artikel diblog ini memiliki afiliasi dengan situs-situs sponsor dan jika anda mengunjungi situs tersebut, penulis akan mendapatkan pemasukan dari situs tersebut.

So, subuh saya bangun sekitar jam 4 pagi. Mata masih males melek dan kepala masih puyeng efek kurang tidur dan sedikit Singha effect semalam. Saya yang selalu bangun duluan langsung ngacir ke kamar mandi dan mandi, sementara Leo dan Agi saya biarkan tidur sebentar lagi. Hari ini kita akan berangkat pindah negara untuk pertama kalinya dalam hidup kami yang fana ini. Rencananya cukup simple. Dari Bodega Hostel kita akan naek songtheaw sewaan dari tante sebelah hostel ke Phuket Bus Station. Dari Phuket Bus Station kita bakalan naek bis sampe Hat Yai. Dari Hat Yai lanjut naik bis ato kereta ke Penang. Simple kan? Tapi tak semudah itu, Ferguso…

Di luar dugaan, Leo dan Agi sudah bangun setelah saya mandi. Keduanya sibuk maen hape dan bersiap untuk mandi. Tas kami sudah siap dari semalam dan ketika menengok keluar jendela kamar, sebuah songthaw merah sudah menanti. Kami pun segera bersiap. Usai Leo dan Agi menyelesaikan misi bersih-bersihnya di kamar mandi, kami pun menenteng tas kami turun dari kamar yang sudah menjadi base kami selama 3 hari ini. Langit masih gelap dan jalan masih sepi. Kami disambut oleh sopir tuk-tuk yang seperti kebanyakan penduduk Thai yang kami temui, tak bisa bahasa Inggris. “stasien..yes.” katanya sambil membantu membawa tas kami ke dalam songtheaw.

Mata kami masih sulit beradaptasi dengan lampu bohlam kuning terang benderang tak jauh dari tempat kami duduk. Agi yang keliatannya masih hangover tampak seperti macan yang siap makan orang, dan Leo pun sudah siap melanjutkan sesi tidur lanjutan. Sementara saya yang baru pertama kali naek songtheaw merasa teringat masa-masa kala masih naek bemo dari Tanah Sereal ke Gajah Mada Plaza. Songtheaw memang sepupu jauh dari bemo. Kendaraan yang biasa dipakai untuk mobilitas penduduk Thailand ini umum kita temui di jalan-jalan Phuket dan Chiangmai. Mirip dengan bemo, para penumpang duduk berhadapan lutut ketemu lutut. Namun karena kali ini kami mengcharter satu songtheaw, kami bisa selonjoran tanpa tabrakan lutut. Si bemo ala Thailand ini kemudian ngesot meninggalkan Patong dan mulai sliweran di jalan menuju Phuket Town yang masih gelap. Awalnya kami masih bisa ngobrol namun godaan sang kantuk tak bisa kami tolak. Mata kami terpejam beberapa saat, tapi tak lama kemudian akselerasi songtheaw yang bertemu dengan polisi tidur, nyaris membuat kepala kami keluar dari atapnya. Spontan kami kaget dan langsung terbangun dari kantuk kami.

“Ini macem bajaj aje shock breakernye.” kata Leo sambil pegangan dengan handle pintu Songtheaw.

“Ati-ati yo, ntar kena polisi tidur lagi, bisa mental keluar lu.”

Susah memang tidur di songtheaw, bagai naek kendaraan perang. Sekitar sejam, kami pun kemudian sampai di Phuket Bus Station. Jalanan sedikit basah dan tampaknya semalam hujan. Bis kami dijadwalkan berangkat jam 7 pagi dan karena perut kami yang keroncongan meronta minta dikasih makan, kami pun kemudian mencari tempat makanan terdekat. Agaknya pagi ini masih banyak kios makanan yang buka. Hanya ada satu warung kopi yang buka dan kami pun harus berpuas diri dengan minuman panas dan makanan ala kadarnya. Di warung deket terminal inilah saya pertama kali berkenalan dengan Thai Tea yang beberapa waktu lalu sempat menjadi hit di tanah air. “Gile manis bener!!” begitu kesan saya terhadap minuman yang sampai sekarang pun gagal merebut hati saya.

Duduk sambil ngeteh dan makan kue ala kadarnya, kami menebak-nebak bis yang akan kami tumpangi. Awalnya kami mengira akan naik bis mewah dua tingkat yang baru saja berhenti memuat penumpang di depan kami. Namun setelah Agi bertanya, tampaknya bis kami masih belum tiba. Ah tak apa, yang penting ketika bisnya dateng bisa duduk denger musik lalu tidur dan sampai di Hatyai siang nanti. Namun angan-angan tinggal angan-angan ketika yang datang adalah bis biasa ala kopaja.

Bis Phuket- Hatyai

Kami kemudian naik ke dalam bis dan duduk di baris kedua. Agi yang masuk duluan langsung mengambil kursi dekat jendela dan saya duduk disebelahnya. Leo duduk di sebelah saya terpisahkan oleh lorong. Awalnya perjalanan kami cukup menyenangkan. Kami sempat ngobrol dan liat-liat foto di kamera Leo dan Agi. Agi sesekali memotret jalan dan apapun yang menarik untuk diabadikan. Sang sopir kemudian menyalakan musik pop Thailand yang heboh. Lagu dengan vokal mendayu-dayu melankolis diiringi oleh gendang dan tambur ala dangdut membuat kami bingung menginterpretasikan lagu ini. Ini lagu sedih apa seneng seh? Kita mesti galau apa hepi yak?

Awalnya kami terhibur dengan pemandangan dan lagu Thailand yang unik namun seriring waktu berjalan, Leo dan Agi terbuai oleh rasa kantuk dan kemudian tertidur. Sementara saya berusaha menangkal rasa bosan dan irama lagu Thai yang bikin bingung itu dengan lantunan merdu nan melankolis Yao Shi Ting dari ipod touch yang kala itu masih keren. Ini kali pertama gue naik bis jarak jauh di luar negeri. Berada dalam bis yang kursinya macam kursi bioskop Roxy Mas dulu dengan begitu banyak aroma yang menghantam indra membuat perjalanan ini serasa begitu lama. Apalagi ketika teman seperjalanan yang biasanya bisa diajak ngobrol sudah berada di alam lain. Leo dan Agi yang kecapean dan kurang tidur nyaris tak sadar sepanjang perjalanan. Disini hanya ada diriku dan merdunya lagu galau Yao Shi Ting. Pandanganku terlepas liar ke jendela bis. Pemandangan rumah-rumah ala pedesaan dengan papan iklan dengan aksara Thai mulai berganti dengan pepohonan dan sawah yang menguning. Memang asik galau begini. Duduk diam menikmati pemandangan tapi lama-lama pegel plus bosen juga.

Tiba-tiba bis berhenti dan menaikkan penumpang. Seorang ibu dan anak yang duduk di kursi depan saya dan Agi. Anak berumur 4 tahun ini tampak penasaran dengan saya dan Leo. Tatapannya tak pernah lepas dan ketika saya mencoba berinteraksi, dirinya diam tanpa reaksi. Wow..that’s odd. Tak lama tercium aroma tak sedap yang tentu saja kami kenal dengan nama ‘kentut’ dari bagian depan kami. Agi dan Leo yang tadinya tertidur langsung terbangun mencium aroma dari jasad makanan yang terkubur tersebut. Kami berpandangan dan berusaha menahan tawa karena takut menyinggung sang empunya gas beracun. Oh mai gat. Baunya yaelah. Kami harus menghirup udara busuk ini selama beberapa kali sebelum sang ibu dan anak sampai di tujuan mereka.

Bis kelas ekonomi ini ternyata sering berhenti dan menunggu penumpang. Jauh dari apa yang saya antisipasi. Membaca buku perjalanan orang lain terkadang memang lebih mudah dari pada menjalaninya. Beberapa blog menjelaskan bahwa bis dari Phuket ke Hatyai (atau bahkan ke Penang) biasanya ekspress tanpa henti kecuali saat break ke toilet atau makan siang. Tampaknya kami salah pilih bis. Perut kami yang lapar dan kandung kemih yang penuh harus bersabar hingga pukul 12 siang.

Bis pun berhenti dan sampai di satu rest area yang juga menjual banyak oleh-oleh. Namun di tempat ini saya baru sadar kalau uang Baht saya sudah ludes dan saya harus ngutang sama Leo. Astaga, bener-bener nubie gue. Sampe ga punya duit buat makan. Setelah makan siang, kami pun kemudian kembali ke bis namun karena kebanyakan minum, saya pun minta izin ke kenek bis untuk ke toilet. Namun si kenek yang tak paham ucapan saya, makin bingung. Spontan saya pun menunjuk kemaluan saya sambil meringis dan si kenek pun tersenyum dan menunjuk toilet terdekat. Karena kebelet, saya langsung masuk ke toilet tanpa menyadari bahwa ini toilet berbayar. Seorang ibu Thai muslim yang menjaga toilet tersenyum sambil mengatupkan tangannya ketika melihat saya panik mencari uang. Bis sudah siap berangkat dan saya masih sibuk merogoh saku berusaha mencari sisa koin, namun tak ada. Si ibu pun langsung memberikan isyarat bagi saya untuk pergi saja karena bis sudah menunggu. Saya pun mengangguk dan mengatupkan tangan saya tanda terima kasih. Sungguh baik sekali ibu ini.

Bis melaju dan kami pun menikmati 3 jam sisa dari perjalanan kami menuju Hat Yai. Perut kenyang dan badan sudah tidak begitu pegal akibat duduk terlalu lama, kami pun ngobrol bentar dan kemudian tidur sebentar. Sesampainya di Hat Yai, kami mendapati kota ini begitu ramai dan kami sempat bingung. Hat Yai di tahun 2011 masih mendapat stigma negatif sebagai kota sasaran teroris. Hat Yai merupakan kota yang sering mendapat serangan bom dari separatis selatan yang berusaha melawan pemerintah. Makanya, kami sejak awal tidak berencana menghabiskan waktu lama disini. Padahal Hat Yai memiliki banyak daya tarik wisata dan harganya pun lebih murah dari Phuket. Saya harus menunggu hampir satu dekade untuk menikmati sedikit dari Hat Yai. Saya memang tak berjodoh dengan kota ini.

Terminal bis Hat Yai

Begitu keluar dari bis, kami langsung melihat sebuah agen travel yang menawarkan shuttle menuju Penang. Agen travel yang bisa bahasa Melayu ini memiliki altar Pak Gong (Dewa Bumi) yang biasanya ada di rumah keturunan etnis Tionghoa. Di rumah saya sendiri ada altar ini, saya pun berasumsi kalau agen travel ini adalah penduduk Thai keturunan Tionghoa. Setelah diminta menunggu sebentar dan membayar ongkos shuttle, kami pun dijemput oleh sebuah mobil sedan dengan engkoh-engkoh dengan T-shirt putih.

“Kita naek sedan neh ke Penang?” tanya Agi.

“Kayaknya kagak deh, tapi kalo iya seh mantep juga.”

Dan pertanyaan Agi terjawab hanya dalam hitungan menit. Sedan yang kami tumpangi ini kemudian mengantarkan kami ke sebuah van yang telah penuh dengan penumpang. Kami pun masuk ke dalam van bergabung dengan para penumpang yang menunggu tak sabaran. Ternyata kami adalah penumpang terakhir yang ditunggu oleh van tersebut. Begitu kami masuk, van pun lalu melaju menuju Sadao, kota terakhir yang merupakan pos perbatasan dengan Malaysia.

Pengalaman cross border pertama kali ini membuat kami rada-rada deg-degan. Ada banyak cerita mengenai ribetnya proses lintas negara ini. Entah dari petugas imigrasi Thai yang suka iseng sampai beredar kabar kita harus menyelipkan 10 baht atau 1 Ringgit Malaysia agar tidak dipersulit. Kami pun percaya saja dan menyiapkan selembar 10baht sementara saya 1 RM sisa dari jalan-jalan di Kuala Lumpur setahun sebelumnya.

Tiba di gerbang perbatasan, kami diminta turun dari Van dan diberikan form imigrasi dan kami pun segera mengisi form tersebut. Tak jauh dari tempat van kami berhenti ada beberapa orang yang menawarkan jasa mengisi form imigrasi. Saya sempat bingung, kok ada jasa beginian ya? Namun saya sadar kalo ga semua orang ngerti gimana isi form seperti ini. Kalo ngerti juga mungkin takut salah, apalagi kalo salah bisa-bisa ga dikasi lewat. Setelah mengisi form, kami pun berjalan dengan perasaan was-was menuju counter imigrasi. Beberapa tentara bersenjata laras panjang dengan posisi sigap tampak tegang. Sementara tak jauh di belakang, van kami pun tengah mengantri untuk melewati gerbang pemeriksaan.

Petugas imigrasi Thailand tampak lugas dan tak berkata sepatah kata pun. Paspor kami diperiksa,selipan uang 10 baht kami diambil, paspor kami dicap dan dikembalikan kepada kami. Gampang amat. Tak seseram yang dibilang orang, walau uang 10 bath dan 1 ringgit kami diambil, kami berhasil lewat tanpa masalah. Kami berdiri menunggu van dan penumpang yang satu van dengan kami lewat gerbang imigrasi Thailand. Namun tampaknya semua orang yang telah melewati gerbang langsung berjalan menuju pos imigrasi Malaysia.

Pos Imigrasi Malaysia berada di dalam bangunan tidak seperti pos imigrasi Thailand yang mirip gerbang tol. Kami masuk dan membawa tas kami dan layaknya masuk ke airport, tas kami diperiksa. Banyak orang Malaysia yang membawa banyak barang belanjaan dari Hat Yai. Konon harga barang-barang kebutuhan sehari-hari di Thailand lebih murah dari Malaysia dan hal ini digunakan oleh penduduk Malaysia perbatasan sebagai modal usaha. Belanja di Thailand lalu jualan di Malaysia. Pemeriksaan paspor di pos imigrasi berjalan lancar dan kami pun segera keluar dari bangunan tersebut dan kembali ke van yang telah menunggu kami. Ah kami telah sampai di tanah Di Raja Malaysia. Negara yang cukup familiar bagi kami karena kami pernah kesana satu kali. Aih….

Penampakan Megamal Penang dari kamera Agi

Van melaju meninggalkan perbatasan melalui jalan raya yang sepi. Tak banyak yang bisa kami lihat selain sawah dan pepohonan yang lebat. Perjalanan yang kami kira hanya 3 jam ternyata memakan waktu hampir 6 jam sebelum kami kemudian di drop di Lebuh Chulia, Penang. (to be continued)

Useful Information

-Jika anda ingin menyebrang dari Thailand menuju Malaysia, pertimbangkan untuk mengunakan kereta daripada van. Di tahun 2018, saya dan nyonya sempat menjajal rute kereta dari Hat Yai menuju Penang. Menurut saya, naek kereta lebih nyaman daripada naik bis dan proses imigrasi pun jauh lebih cepat dibandingkan dengan pos imigrasi di Sadao (jalur van). Anda bisa membaca pengalaman naik kereta dari Hat Yai ke Penang di sini.

One comment

  1. Kalau tahun 2018 kemarin, dari Kata ke terminal bus Phuket aku naik songthaew seukuran bus terus sambung ojek.
    Itu yakin kentut koh? Jangan-jangan udah cepirit ?
    Kata temen blogger yang ke Thailand via darat beberapa bulan lalu, paspor Indonesia suka dipersulit dan diinterogasi lama.

Leave a Reply