Artikel-artikel diblog ini memiliki afiliasi dengan situs-situs sponsor dan jika anda mengunjungi situs tersebut, penulis akan mendapatkan pemasukan dari situs tersebut.
“Kita mesti bawa bekal ga ya?” tanya Agi saat kami sedang bersiap menuju Phang Nga Bay. ” Kemaren kata agen tournya seh paket day tripnya uda termasuk makan, tapi kalo mau ke sevel dulu bolelah.” jawab saya yang inget belom beli makanan untuk modal pergi ke Phang Nga Bay. Leo yang selalu siap dengan makanan ternyata sudah membeli cukup snack ala kadarnya. Baru kaki kami hendak melangkah ke sevel, resepsionis Bodega sudah berteriak dengan suara ceprengnya bahwa van jemputan untuk ke Phang Nga Bay sudah tiba.
Tanpa memikirkan tentang snack, kami pun langsung turun dan masuk ke dalam van yang sudah dihuni oleh beberapa turis manca negara lainnya. Van berkeliling dari satu hotel ke hotel yang lain sampai kapasitas kursi penuh tanpa celah. Van meluncur menuju dermaga Phang Nga menyusuri jalan Thailand Selatan yang mulus dengan pemandangan perkebunan di kiri dan kanan kami.
Kemarin, setelah perundingan tiga kaki di antara kami, akhirnya kami memilih untuk ikutan day trip ke Phang Nga di hari terakhir kami di Phuket. Phang Nga atau lebih dikenal dengan nama James Bond Island kami pilih karena harganya lebih murah dibandingkan dengan tour ke Phi-Phi Island. Lagian, kami bisa juga pergi ke Phi-Phi someday pikir kami. “Both ar gud. No problem. same same but different.” kata agen tour pinggir jalan yang melihat kami berunding. Oke lah, akhirnya kami mengambil paket day trip ke Phang Nga. Ada banyak agen tour pinggir jalan di sekitaran Patong. Banyak dari mereka adalah agen yang menerima komisi dari agen yang lebih besar. Alhasil harga menjadi sangat fluktuatif antar agen. Kami yang belum berpengalaman membayar lebih mahal sedikit dibanding turis lain yang mengambil tour sama dari agen yang lain. So, jika anda tipe yang pengen hemat, coba bandingkan harga dari satu agen ke agen yang lain sebelum komit untuk membeli paket tour.
Setelah 1 jam lebih berada dalam van yang rame, kami kemudian sampai di dermaga somewhere di Phang Nga dimana banyak rombongan turis lain juga berkumpul. Rombongan turis di van kami kemudian dikelompokkan dengan sticker berwarna orange stabilo dan seorang tour guide memimpin kami menuju sebuah perahu kayu. Perahu yang dikenal oleh bule dengan nama ” Long Tail Boat” ini kemudian meluncur meninggalkan dermaga menuju perairan lepas. Kami duduk dengan takjub melihat pemandangan sekitar Phang Nga yang indah. Permukaan air yang berwarna kehijauan di belah oleh beberapa longtail boat yang tampak seperti armada kapal yang berangkat untuk bertempur. Tiap buritan kapal dihiasi dengan bunga dan bendera Thailand. Puluhan bukit batu mulai terlihat bagaikan monster misterius yang bangkit dari kedalaman laut yang berwarna hijau emerald. Agi dan Leo sibuk mengabadikan pemandangan dalam perjalanan jalur air ini sementara saya sibuk bengong terpukau oleh indahnya pemandangan sampai cepretan air membuyarkan lamunan saya.
Perhentian pertama kami adalah sebuah dermaga di tengah laut tempat puluhan kano tengah bertambat. Pemandu kami meminta kami semua untuk turun dan menunggu di dermaga. Rombongan kami berbaris sampai tiap dari kami mendapatkan satu kano yang diawaki oleh seorang pendayung bernama Song. Song, seorang pria muda dengan kulit coklat dan senyum yang cemerlang, membantu kami naik kano. Kano berwarna kuning dengan kapasitas 4 orang ini pun kemudian membawa kami menyusuri permukaan air Phang Nga. Awalnya kami tak menyangka kalo bakalan maen kano sekalian, makanya kami langsung cengo ketika Song mendayung kano dengan sigap dan kami dibawa ke gua tepi laut.
Gua tepi laut yang besar ini hanya diterangi oleh sinar mentari dari luar. Ketika kano kami masuk ke dalam gua, kami seolah masuk dalam dunia kegelapan. Penghuni gua yaitu kelelawar yang tengah tidur terbang hilir mudik seolah terganggu oleh keriuhan pengunjung. Seorang turis korea cantik yang tak henti-hentinya berpose menjadi target fokus kamera Agi yang nakal. Keramaian turis juga menarik seorang pedagang asongan yang dengan sigap menjual bir dan softdrink dengan kanonya. Sungguh pengalaman yang tak terlupakana.
Setelah sekitar sejam menikmati pemandangan di sekitar gua, Song pun membawa kami kembali ke dermaga dan long tail boat kami mengambil tongkat estafet untuk kegiatan kami selanjutnya. Long tail boat meluncur menuju Koh Tapu. Jika anda pernah nonton film James Bond yang berjudul “The Man with the Golden Gun”, anda mungkin akan mengenali bukit batu yang mirip pasak besar di tengah laut. Nah inilah yang disebut dengan Koh Tapu atau Phang Nga Bay. Berkat jasa James Bond, daerah ini kemudian menjadi destinasi turis kelas dunia, jauh dari reputasinya sebagai daerah terbelakang pada abad 19. Seluruh wilayah Phang Nga Bay termasuk gua yang kami kunjungi barusan merupakan bagian dari Phang Nga Bay Marine National Park yang dilindungi oleh pemerintah Thailand. Tak heran tempat ini begitu bersih dan asri.
Setelah sekitar 20 menitan naik long tail boat, kami pun kembali merapat ke daratan. Kali ini pemandu wisata kami memberi kami free time sekitar 1 jam untuk jalan-jalan di sekitaran Koh Tapu. Kita semua boleh ngapain aja di pulau kecil ini dan sebagian besar turis langsung berjalan menuju viewpoint tempat kami bisa memotret icon Phuket ini. Sebelum rombongan kami bubar, kami diingatkan untuk tidak salah naik perahu dan jangan telat. Of course, kami tak akan lupa soalnya siapa juga yang bisa tahan hidup sendirian di pulau ini. We are not Tom Hanks, you know.
Kami lalu bergabung dengan rombongan turis lain yang udah jalan duluan. Jalan setapak membawa kami ke view point dimana kami bisa berfoto dengan pulau batu di tengah air yang menjadi icon Phang Nga. Pulau yang berwujud mirip pasak raksasa ini begitu serasi dengan permukaan laut yang tenang dan langit yang mengharu biru. Leo dan Agi langsung sibuk memotret dengan kamera mahalnya, sementara saya cuma pake kamera Blackberry Gemini butut sajahhh. Berhubung dua temen saya punya kamera keren, ngapain ribet beli kamera hahaha. Saya malah sibuk berpose saja numpang foto sementara mereka asik memotret. Ada untungnya juga pergi sama temen-temen.
Usai puas berfoto ria, kami pun kemudian diminta kembali ke perahu. Tentu kami segera balik ke perahu, kecuali Agi yang masih kecantol dengan alam sekitar yang terus diabadikan dengan lensa kameranya. Setelah semua penumpang naik, termasuk Agi, kami pun meluncur ke destinasi berikutnya. “Our next destination is Koh Panyi. Muslim Village and we will have lunch there. Free lunch. No problem.”kata sang pemandu wisata. Muslim Village? Ada kampung muslim di Thailand? Kok bisa? Koh Panyi ternyata merupakan desa muslim terapung yang didirikan oleh keluarga nelayan muslim yang berasal dari Jawa. Konon kedua keluarga nelayan ini berlayar dan bermukim di Phang Nga dan menamakan tempat mereka bermukim Pulau Panji dalam bahasa Melayu. Karena sulitnya mereka mendapat izin membangun tempat tinggal di daratan Thailand, mereka membangun pemukiman mereka di atas air alias terapung. Pemukiman ini kemudian berkembang menjadi desa muslim lengkap dengan mesjid dan sekolah. Koh Panyi sekarang menjadi tempat singgah bagi turis yang mengunjungi Phang Nga dan pernah juga disinggahi oleh peserta Amazing Race (lupa season berapa).
Perahu long tail kami merapat di dermaga Koh Panyi. Bangunan rumah-rumah sederhana berdiri diatas platform kayu yang ditopang oleh pilar-pilar kayu membuat desa ini terpisah dari air. Kami berjalan menyusuri gang dan kemudian sampai di sebuah restoran dimana tiap meja sudah disiapkan makanan yang tak asing bagi kami. Gulai ayam, tumis sayur, nasi putih, dan beberapa lauk yang biasa kami temui di warteg. Wah serasa makan di Jakarta loh. Para pelayan di restoran ini pun beberapa merupakan gadis melayu berjilbab. Koh Panyi benar-benar merupakan suatu anomali pikir saya. Setahu saya saat itu, Thailand merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, namun di suatu sudut tak jauh dari Phan Nga, ada sebuah desa Muslim.
Usai santap siang di Koh Panyi, kami pun kemudian kembali berjalan menuju long tail boat kami. Perut kenyang dan jujur saja, baru kali ini selama kami sampai di Thailand, saya bisa makan dengan lahap. Di awal perjalanan dan sampai beberapa tahun ke depan, saya masih tidak berani sembarangan makan. Maklum selera makan saya unik. Ga doyan babi dan cenderung hati-hati jika memilih makanan yang tidak familiar. Alhasil saya malah jadi ledekan temen-temen yang menganggap saya aneh. Cina, Kristen pula tapi ga makan babi. Rugi banyak kau.
Perahu kami meluncur dan meninggalkan Koh Panyi. Anak-anak yang sedang bermain berhenti sebentar sambil melambai memberikan salam perpisahan kepada kami. Ah sungguh pengalaman berharga. Laju perahu kemudian semakin kencang dan pemandu wisata yang berusaha menjelaskan tujuan berikutnya tak begitu terdengar jelas oleh kami. Agi dan Leo tampak sibuk melihat hasil jepretannya, sementara saya sibuk mengamati pemandangan laut lepas dan beberapa pulau kecil yang kami lalui. Laju kapal kami tampak menuju dermaga awal tempat kami memulai day trip kami tadi pagi. Hah? udahan? Kok cepet banget?
Orang bule bilang, ” Time flies when you enjoy it.” Bener juga. Hari ternyata sudah menunjukkan pukul 2 sore dan rombongan kami lalu diarahkan menuju van. Saya masih tak percaya bahwa perjalanan kami telah usai dan duduk di dalam van sambil merenung. ” Our last destination is Wat Suwan Kuha. Buddhist temple. Very good.” begitu penjelasan sang tour guide yang bisa saya tangkap dalam kondisi separuh ngantuk. Ah ternyata masih ada satu destinasi lagi. Mata saya yang ngantuk kemudian seger lagi.
Wat Suwan Kuha atau biasa disebut juga dengan nama Wat Tham, adalah Kuil Buddha yang terletak di dalam gua besar di Phang Nga. Sebuah patung Buddha tidur dari emas dan beberapa patung Buddha lainnya menambah suasana sakral di gua ini. Daerah Phang Nga yang kaya akan bukit karst menyimpan banyak hidden gems seperti kuil ini. Kami yang baru sampai di parkiran tak menyangka bahwa kami akan masuk ke dalam sebuah gua besar dengan pencahayaan syahdu yang mengingatkan kami pada Batu Caves di Kuala Lumpur yang kami kunjungi setaun sebelumnya. Nuansa sakral dengan lantunan Sutra membuat kami para turis kagum sekaligus respek dengan para biksu yang khusyuk beribadah tak terganggu oleh keramaian turis yang berkunjung.
Wat Suwan Kuha adalah destinasi day trip kami yang terakhir. Berjalan ke van, kami merencanakan untuk menghabiskan malam ini di Bangla Road, Patong. Bangla Road, pusat dari segala kehidupan malam di Phuket here we come. Kami berencana akan minum-minum dan mencoba segala keliaran masa muda yang mungkin tak akan bisa kami lakukan lagi jika kami sudah terikat. Pokoknya hedon dah.
Dan akhirnya kami cuma nongkrong di sebuah Cafe sepi di Patong. Cafe yang cuma dihadiri oleh kami bertiga dan satu om2 bule kesepian. Dengan Singha di tangan kanan, kami sibuk melempar umpan ide-ide kosong. Yang satu menyarankan kita masuk ke bar, yang satu lagi bilang “tak punya uang,” yang terakhir menyarankan kita liat pingpong show macam di film Hangover 2. Well, sejam berlalu dan dua botol Singha ludes, kami pun akhirnya berjalan pulang. Dengan alasan besok bakalan bangun subuh karena mau naik bis ke Penang, kami menjaga ego masing-masing untuk tidak melanjutkan ke hiburan yang lebih liar. Namun tampaknya petualangan kami belum berakhir.
Di salah satu sudut Bangla Road, terdapat satu gang yang rada menantang. Pemandangan gadis-gadis muda nongkrong mengundang rasa penasaran kami. Kami pun lalu melangkah masuk ke gang tersebut dan disambut dengan godaan dan riuh ramai para gadis yang menganggap kami bintang film. Tangan-tangan nakal mereka menarik kami dan berusaha “menculik” kami masuk ke bar tempat mereka bekerja. Saya cuma berjalan dengan cepat serta berusaha melepaskan pegangan tangan mereka. Ketika saya menoleh, Agi sibuk bercakap-cakap sambil berusaha melepaskan diri sementara Leo sudah setengah berlari berusaha menghindari tangkapan para gadis. “BUAHAHAHHAHA. Bener-bener gilaa hahahaha.” tawa kami semua setelah berhasil meloloskan diri. Entah para gadis tersebut beneran orisinil atau modif, kami pun sah merasakan one Wild night di Phuket.
Tahun 2011 masih jaman kejayaan Blackberry ya, hehe. Thailand bagian selatan termasuk Phuket memang kawasan minoritas muslim. Di kawasan pantai dan kota Phuket aku beberapa kali melihat mbak-mbak berjilbab.
Jadi penasaran sama turis Korea yang jadi incaran foto 🙂
Iya, dulu Thailand Selatan mang wilayah Kesultanan Pattani. Makanya banyak melayu muslim disana. Hahaha..ada kayaknya di foto tuh turis korea wkwkw