Artikel-artikel diblog ini memiliki afiliasi dengan situs-situs sponsor dan jika anda mengunjungi situs tersebut, penulis akan mendapatkan pemasukan dari situs tersebut.
Pagi menjelang di Bodega Hostel. Suara ngorok stereo dari kedua temen tidur saya kemaren menemani irama suara tuk-tuk dan songtheaw yang sudah seliweran di depan hostel. Sedikit menengok ke jendela, saya baru melihat kawasan sekitar hostel dengan jelas. Restoran dan hotel berbaris di seberang jalan dengan juntaian kabel listrik semrawut yang menghalangi pandangan saya. Always a morning person, saya langsung mandi dan pergi meninggalkan Leo dan Agi yang sedang berlomba untuk memenangkan piala Ngorok Phuket 2011.
“No breakfast?” tanya saya kepada resepsionis Bodega yang ternyata tak paham ucapan saya. Sang resepsionis ternyata hanya menggantikan temannya yang keluar sebentar. Setelah mengamati sekeliling, saya tidak menemukan tanda-tanda adanya sarapan, so saya langsung jalan keluar nyari sarapan sekalian jalan-jalan. Phuket sekilas terlihat seperti Bali. Restoran dan cafe yang menyediakan makanan lokal sampai manca negara, tempat pijit, rental motor sampai beberapa restoran fast food macam Burger King dan McDonalds pun tersedia di kawasan Patong ini. Tak jauh dari Bodega Hostel, berdiri mal mewah bernama Jungceylon Mall. Mal yang mengambil inspirasi dari perahu Jung khas Bugis ini merupakan mall Phuket yang ramai dikunjungi oleh turis apalagi kalau malam.
Namun, tujuan saya keluyuran sendirian pagi ini bukan nongkrong di mal. Saya kepengen jalan ke pantai dan menikmati suasana pantai yang sepi. Kebetulan, pantai Patong terletak hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari Bodega Hostel. Melewati lorong jalan yang hanya cukup satu mobil lewat, saya sampai di pantai pasir putih yang luas. Langit saat itu kelabu, tampaknya matahari masih tertutup oleh tabir awan mendung yang biasanya tak muncul di bulan Juni. Iseng duduk di kursi pantai, saya memeriksa HP Blackberry Gemini saya yang tiba-tiba berbunyi.
Agi :”Lu dimana Dro?”
Ah mereka sudah bangun rupanya. Buyar sudah kesendirianku.
“Ketemu di Burger King aje ya. Gue laper. Gada sarapan di hostel.”
Burger King? Pagi-pagi gini? Kok jadinya malah makan fast food lagi? Yah bis gimana, yang paling deket cuma Burger King doang dan gue ga mau bikin temen-temen gue ribet nyariin.
Saya pun lalu berjalan ke Burger King dan memesan menu sarapan pagi ala kadarnya. Setelah mendapatkan segelas kopi dan sarapan pagi, saya mengambil kesimpulan bahwa makan fast food di Thailand itu lumayan mahal. Penyesalan pun tiba bersama kedua teman saya yang datang sambil ngeledek pilihan sarapan saya yang ala raja ini. Agi dan Leo tentu tidak mau mengikuti ide sarapan saya yang mahal. “Ke Thailand jauh-jauh malah nyari Burger King, nyari makanan lokal dong.” kata Agi. Bener juga ye.
Setelah meninggalkan sarapan penuh sesal, kami kemudian pergi mencari rental motor untuk berkelana di sekitaran Patong. Rencana kami sederhana hari ini, cuma nyari info soal bis ke Hat Yai di terminal bis Phuket dan lanjut keliling naek motor. Tidak sulit nyari rental motor di Patong. Jalan sedikit di area pantai, sudah ada beberapa rental yang menyediakan motor untuk disewa harian. Kami pun kemudian menyewa dua motor. Saya membonceng Agi yang pakar membaca peta dan Leo menguntit sendirian.
Dan mulailah perjalanan kami motoran di Phuket yang merupakan kali pertama saya pernah naik motor di luar negeri. Kondisi jalan di Phuket yang baik dengan aspal halus membuat perjalanan motoran ke Phuket Town sangat menyenangkan. Naik turun tanjakan dengan pemandangan gunung dan pantai serta petunjuk lalu lintas yang ditulis dengan bahasa Thai merupakan pengalaman baru bagi kami. Sekali kami berhenti di satu spot dengan pantai yang indah. Kosong dan hanya ada sepasang kekasih yang kami ganggu keasikannya. Phuket memiliki banyak spot pantai yang indah, sembarang mampir saja sudah berasa pergi ke pantai kelas dunia. Semuanya terasa sangat menyenangkan.Saya berani bilang karena motoran di Phuket inilah, saya kemudian berani motoran di negara manapun di dunia, termasuk di Yunani yang nyaris merenggut nyawa saya. Kami tidak takut nyasar karena Agi beneran jago baca peta (peta lipat loh bukan Google Maps).
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih sejam kami pun kemudian sampai di Terminal Bis Phuket. Terminal kecil dengan beberapa loket ini sempat membuat kami bingung karena tidak ada tulisan jurusan kemana dan orang yang kami tanya sepertinya ragu untuk menjawab karena kendala bahasa. Untunglah akhirnya penjaga loket tiba dan kami pun kemudian membeli tiket bis menuju Hat Yai. Harga bis yang cukup terjangkau membuat kami senang dan tanpa tanya lebih lanjut, kami pun menyerahkan Baht kami. Okeh. Tiket bis udah dapet. Berangkat lusa pagi dan dari Hat Yai kita bisa lanjut ke Penang. Begitulah rencana kami. Kami tidak sadar kalau kami akan mengalami perjalanan panjang dan sungguh bikin ngakak di kemudian hari.
Usai mendapatkan tiket bis menuju Hat Yai, kami mampir sejenak ke tukang mie di pinggir jalan. Leo dan Agi yang sudah kelaparan kemudian mencicipi mie pinggir jalan dengan kuah coklat. Baunya harum, namun saya menolak mencicipi karena saya tak doyan daging babi untuk alasan personal, bukan agama. Penjaja street food di Phuket Town ini ada di mana-mana dengan harga yang lebih murah dari kawasan Patong. Murahnya makanan di sini membuat saya makin nyesel makan Burger King tadi pagi. Ah..
Dengan perut penuh makanan, kami pun kemudian lanjut jalan-jalan di Phuket Town. Phuket Town berbeda jauh dengan Patong yang hingar bingar. Kota kecil ini lebih membumi dan lebih banyak penduduk lokal yang keliatan disini. Di bagian kota tuanya terdapat banyak bangunan dengan arsitektur Tiongkok dan Portugis. Wajar saja, kedua bangsa ini memang pernah mendiami Phuket dan jejak keberadaan mereka masih membekas di kota ini. Bangsa Tiongkok dari Suku Hokkien telah lama tinggal di daerah ini, terutama di Thalang Road. Kawasan kota tua ini membawa kami merasa berada di Tiongkok atau Penang (hal yang baru saya sadari beberapa tahun lalu ketika mengunjungi Phuket Town untuk kedua kalinya). Bangunan kuil, bahkan warung kopi pun membawa kami merasa bernostalgia di film tahun 70an.
Berhubung lusa adalah hari terakhir kami di Phuket dan besok kami berencana ikutan day trip ke Phang Nga Bay, kami pun memutuskan untuk pegi belanja di Phuket Town. Entah bagaimana, kami pun ketemu satu pasar yang sampe sekarang saya lupa ada dimana dan belanja berbagai pernak-pernik oleh-oleh. Saya membeli sebuah celana ala nelayan yang lebih mirip sarung. Leo dan Agi pergi membeli banyak makanan dan oleh-oleh untuk orang-orang rumah. Berhubung pedagang di pasar ini kebanyakan tidak bisa bahasa Inggris maka kami berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan kalkulator. Lucunya si pedagang memiliki kalkulator yang ukurannya segede Ipad dan beneran ini ngebantu banget buat jualan. Saking senengnya belanja, saya lupa menyisihkan cukup baht untuk bertahan hidup sampai kami tiba di Malaysia. Entar deh gue ceritain.
Balik dengan barang belanjaan, kami beristirahat sebentar di hostel. Sore telah tiba dan kami memutuskan untuk nge-mal. Yak kembali kami ke wujud semula penduduk Jakarta yang suka nge-mal. Jungceylon Mall yang cuma 5 menit jalan kaki dari hostel kami menjadi destinasi kami selanjutnya. Mal besar dengan konsep indoor dan outdoor ini menjadi tempat kami berlindung dari kelembaban udara Phuket yang bikin gerah. Jungceylon Mall memiliki banyak sarana hiburan dan restoran yang bikin betah. Entah siapa yang memulai, kami pun kemudian memiliki ide untuk nonton bioskop di Jungceylon. Film yang tayang saat itu adalah Hangover 2dan Green Lantern. Yang konyolnya kami nonton sekaligus di malam yang sama. Yeah, forget about the rowdy nightlife of Patong, let’s watch movies instead. Maklumlah, saat itu di tanah air sedang minim film bioskop. Buat pecinta film macam kami, kesempatan nonton di luar negeri tak boleh dilewatkan. Lagian kami anak baek-baek, tak patutlah kite nonton Thaiger show.
Dengan modal tiket dan segelas cola ukuran besar, kami pun masuk ke gedung teater. Setelah menonton beberapa iklan, layar bioskop kemudian menampilkan foto Raja Bumibol dan lagu kebangsaan Thailand. Seketika, para penonton berdiri dari kursi empuk mereka dan kami pun spontan ikutan. Wah..ternyata sebelum nonton kami mesti berdiri untuk menghormati sang Raja. Kami pun turut serta dalam kebiasaan yang menurut saya sangat positif ini. Begitu besar cinta para penduduk Thailand kepada pemimpin dan negaranya, sampai saat hendak bersantai menonton film pun diingatkan dan mereka patuh.
Film Hangover 2 yang kocak dan kebetulan bersetting di Phuket dan Bangkok benar-benar menjadi inspirasi kegilaan kami dalam trip kali ini. Tak henti-hentinya kami ngakak melihat kekonyolan Stu dan kawan-kawan. Ah..it feels good to travel. Usai nonton Hangover dan Green Lantern yang jelek bener itu, kami mampir ke kawasan Patong yang sungguh ramai di malam hari. Berbagai hiburan dan lampu neon yang bersinar membuat kami disorientasi. Is this the real life? Or just a fantasy? Sebuah Bar dengan pelang TIGER menawarkan hiburan para perempuan muda menari-nari keliling tiang. Lagu Ke$ha dan Pitbull yang lagi ngehits saat itu terus menggeber speaker bar dan makin membuat kami berasa di dunia lain. Lantas apa yang kami lakukan? Well, kami tak berani mencoba hiburan macam itu, uang tak banyak dan kami lebih suka menikmati suasana malam yang ramai ketimbang masuk dan terlibat perkara-perkara yang tak menyenangkan (atau menyenangkan). So we ended up jajan ketan dengan mangga dan gorengan. Yeah. A wonderful way to end our fabulous day.
Aku juga ke Jungceylon Mall ini koh, nemenin travelmate belanja baju. Mall-nya sekilas kayak Cihampelas Walk.
Waktu itu kami stay di daerah Kata, jadi ke Patong kami naik tuktuk. Dari Patong, kami sewa taksi seharian buat ke kota Phuket. Aku suka kota tua Phuket, cantik dan bersih kayak Chinatown Singapura.
Kota tua Phuket malah bikin saya inget ma Penang. Banyak bangunan ala peranakan n jalannya yang serupa. Seneng disana, ga terlalu ramai tapi tetap berkarakter.