If you want to travel the world, start by reading a book.
Artikel-artikel diblog ini memiliki afiliasi dengan situs-situs sponsor dan jika anda mengunjungi situs tersebut, penulis akan mendapatkan pemasukan dari situs tersebut.
10 tahun yang lalu, dunia literasi Indonesia sedang booming genre buku baru. Buku budget travel dengan modal minim namun keseruan maksimal menghiasi rak-rak buku Gramedia dan Gunung Agung, dua toko buku yang sering saya kunjungi untuk baca buku gratisan. Salah satu pelopor dari buku travel murah ini adalah Claudia Kaunang,seorang penulis yang membagikan pengalamannya jalan-jalan di sekitaran Asia Tenggara dengan budget yang bikin ngiler, 3 juta saja. Buku yang akhirnya saya beli dan dibaca hanya dalam waktu beberapa jam ini kemudian menjadi inspirasi bagi saya.
11 tahun yang lalu, saya tak pernah berpikir bahwa saya akan pernah ke luar negeri. Jangankan keluar negeri, ke Bandung aja tunggu ada tugas bawa anak-anak karya wisata. Walau sering membaca buku tentang wisata di luar negeri, saya hanya menganggap itu hanyalah khayalan saja dan tak mungkin direalisasikan mengingat imej traveling ke luar negeri selalu identik dengan dana yang besar. Sampai satu ketika, ortu murid les saya meminta saya untuk membawa anak-anaknya jalan-jalan ke Singapura. Passport dibikinin, hotel, expenses semua ditanggung oleh Tante Bertha yang baik hati. Sejak kunjungan pertama kali ke Singapura itulah, pandangan saya berubah terhadap wisata ke luar negeri. Budget traveling itu bisa banget dan traveling tidak selalu buat orang kaya.
Bermodal inspirasi dan petunjuk dari mbak Claudia Kaunang, saya pun mulai mengadakan research dan budgeting. Air Asia sebagai motor penerbangan budget lagi getol-getolnya membuka rute penerbangan Jakarta ke berbagai kota di Asia Tenggara. Harga yang ditawarkan pun fantastis. Bayangkan, tiket Jakarta-Phuket hanya 300rb saja dan buat saya ini sudah sangat murah. Lalu penginapan saya akali dengan tinggal di hostel yang kemudian menjadi tipe penginapan favorit saya sampai sekarang. Hostelworld.com dan hostels.com menjadi referensi dan tinggal di dorm menjadi norma nginep guna menghemat biaya. Saking hematnya, saya menemukan satu penginapan yang cuma 50rb rupiah di Melaka saat itu. Tentu bukan cuma karena murah, tapi karena pengen gaul dan ketemu dengan berbagai turis manca negara yang bikin saya memilih tinggal di hostel. Pengalaman saya ketika menginap di salah satu hostel di Singapura membuat saya pede buat nginep di hostel.
Usai mengadakan research, saya kemudian mengajak teman-teman sekantor untuk ikutan dalam trip multi negara perdana ini. Sampe bikin itinerary, rincian harga, dan sounding di Facebook namun dari banyak yang tertarik akhirnya hanya 2 orang teman yang jadi ikutan. Leo, si gembul yang merupakan junior,murid dan temen saya di Kampus serta Agi, temen sekantor yang juga suka bertualang dan fotografi. Kami lalu komit dan menyiapkan rencana untuk pergi saat liburan sekolah Juni 2011.
Destinasi yang kami pilih adalah rute Phuket sampai Singapura dengan jalur darat. Of course, kami terbang ke Phuket dulu dan kemudian melanjutkan perjalanan menuruni semenanjung Malaysia dengan jalur darat sambil singgah di kota-kota Malaysia dan berakhir di Singapura. Selain destinasi, kedua temen saya yang entah malas atau percaya saja, menyerahkan semua booking pesawat,hotel dan itin kepada saya. Buat orang yang suka research dan baca-baca, saya seneng-seneng aja, asal bayar ga nunggak hahaha.
Lalu tibalah hari keberangkatan kami. Dengan sebuah tas backpack yang saya beli pas pameran travel di Senayan, saya naik taksi ke bandara Soekarno Hatta. Sesampainya disana, dua teman saya sudah menunggu dan kami pun siap terbang ke Phuket. Kami memilih Phuket sebagai destinasi awal kami karena tertarik dengan keindahan pulau di selatan Thailand yang konon dijuluki Bali-nya Thailand. Phuket relatif dekat dengan Malaysia sehingga kami tidak perlu menghabiskan waktu lama di bis (paling ga, itu yang kita pikir waktu itu). Lagian mencontek itin mbak Claudia Kaunang yang start dari Bangkok rasanya terlalu jauh dan kami cuma punya waktu 10 hari. 10 hari buat traveler beginner seperti kami itu sudah cukup lama. Makin lama makin banyak uang yang keluar dan 10 hari yah cukuplah.
Pesawat Air Asia lepas landas meninggalkan bandara Soekarno Hatta dan kami pun menghabiskan waktu di pesawat sekitar 2 jam lebih. Kedua teman saya yang kebetulan pelor (nempel langsung molor) berbanding terbalik dengan saya yang macam anak kecil baru pertama kali pergi jalan-jalan. Saya terlalu excited buat tidur dan waktu di pesawat ini saya habiskan buat baca buku mbak Claudia Kaunang dan review lagi bagaimana jalur transport serta tempat wisata yang akan kami kunjungi. Tak terasa, waktu berlalu dan kami sudah sampai di bandara Phuket.
Kami sampai pada malam hari di Phuket dan transportasi publik bagi kami yang baru pertama kali pergi serasa asing. Gimana enggak, ketika baru sampai di bandara, bahasa dan aksara Thai keliatan seperti kode rahasia yang tidak kami pahami. Excited dan ngeri-ngeri sedap, kami kemudian memutuskan untuk patungan naik taksi dari bandara ke Bodega Hostel di Patong, tempat kami menginap. Tentu ini bakal membuat kalian pembaca setia Guru Kelana merasa heran. Kok gue yang biasa naek angkot dan anti kemapanan taksi bisa naek taksi juga? Well, ini merupakan kali pertama saya berada di negara yang bahasanya totally different dan saya tidak mau ngambil resiko nyasar di malam hari. Ntar kena palak kan berabe.
Taksi membawa kami ke depan Bodega Hostel setelah sejam lebih berada dalam kegelapan jalan menuju Patong. Ketika sampai, seorang resepsionis gaul membantu membawakan tas kami yang berat ke kamar hostel isi 4 orang. Saya masih ingat jelas kesan pertama di party hostel ini. Kamar kami berada di lantai dua dan menghadap ke jalanan dimana suara musik ajeb-ajeb terdengar dari jauh. Ketika iseng membuka hordeng, tampak pemandangan aneh sebuah mobil bak terbuka lewat dengan suara cempreng sang sopir. Di bagian bak mobil tersebut ada papan dengan foto petarung kick boxing. Sang sopir yang berbicara dalam bahasa Thai, sepertinya sedang mengiklankan pertarungan kick boxing yang terdapat di belakang hostel kami.
“Huahhh.. laper neh gue. Makan dulu yuk,” ajak Leo kepada kami yang sedang beberes membongkar muat pakaian dan perlengkapan mandi. Kami bertiga belom makan dari siang tadi. Rasanya masuk akal kalo makan dulu sebelum mampir dan meniduri ranjang kami masing-masing. Seolah saling bisa membaca mimik lapar masing-masing, kami langsung berjalan keluar hostel dan belok kanan. Insting mencari makan kami masih jelek dan terus terang apapun yang kami temui pertama mungkin akan kami makan tanpa mikir panjang. Dan…pilihan kami jatuh pada restoran yang original Thailand banget yaitu Subway. Yeah, of all Thai food that we might have encountered in a few blocks, we chose Subway.
Kami punya alasan kuat kenapa Subway menjadi pilihan pertama kami. Pertama, kami lapar dan orang lapar biasanya ga mikir panjang. Kedua, Agi dan saya memiliki kenangan indah makan Subway ketika mengunjungi KL setaun sebelumnya. Sandwich dengan isi daging, sayuran segar dan bumbu yang asing namun nikmat buat kami itu sungguh membuat kami tak ragu memilih Subway. Sejak pertama kali mencicipi Subway, saya selalu menjadikan makan sandwich Subway sebagai suatu ritual tak terpisahkan, apalagi kalo ke Singapura,khususnya Changi Airport. Berpisah dengan Singapura mesti dengan makan Subway. Kudu. Musti. Harus.
Usai menikmati sandwich Subway yang tergolong mahal untuk biaya makan di Thailand, kami kemudian berjalan ke sekitaran Patong. Malam seolah bukan datang dengan kegelapan di jalan yang ramai dengan sinar lampu gemerlap dari bar dan suara bising musik yang membuat kami godek-godek kepala tanpa sadar. Patong, pusat dari kehidupan malam Phuket, penuh dengan segala hiburan khas dewasa. Dari cafe dengan live music, gogo bar dengan gadis-gadis Thai berpakaian minim yang menari-nari diatas meja bar, sampai spa dengan lampu neon warna-warni yang membuat anda bingung apa layanan yang disediakan disana. Keramaian Patong tampaknya bukan hanya untuk penggemar hiburan dewasa. Banyak kios dan gerobak menjual makanan khas Thailand seperti Pad Thai dan buah-buahan segar menjamur di tepi jalan. Kenapa kita ga makan ini tadi? Ah sudalah, kami khilaf.
“Sawadikaa, you wan tu si Thaiger sow? yu wan? ” seorang pria Thai menghampiri Agi yang sibuk motret-motret. Agi yang bengong sebentar lalu menjawab, “what?” Saya dan Leo langsung mengajak Agi pergi sebelum dirinya dijebak ikutan nonton pertunjukan yang cukup infamous ini. Thai Girl Show adalah nama pertunjukkan khas tempat-tempat hiburan malam Thailand. Show yang rada vulgar ini menampilkan banyak adegan dewasa dengan tingkat akrobatik yang menimbulkan reaksi geli,lucu, muak dan tentu saja dewasa. Kami tentu tertarik nonton hal unik seperti ini tapi reputasi Thai Girl Show berjalan berdampingan dengan scam. Konon penonton sering dijebak untuk membayar lebih dari yang seharusnya dan keluar dengan pengalaman pahit diperas oleh oknum. Tentu kami tidak mau mengalami pengalaman macam ini di awal trip kami.
Meninggalkan sang pengasong Thai Girl Show, kami lalu mampir ke night market Phuket (Jujur, saya lupa ini night market atau bukan tapi beneran banyak yang jualan). Mata saya melihat seorang penjual serangga goreng yang sedang duduk manis sambil menunggu pembeli datang. Tumpukan kalajengking, ulat, kepompong, kecoa, sampai jangkrik tersedia disini. Sifat ingin tahu saya pun timbul dan karena iseng, saya pun membeli satu plastik jangkrik goreng. Jangkrik goreng dengan bumbu bubuk cabe pun kemudian menjadi snack malam saya. Rasanya garing-garing nyelekit. Mengingat salah satu kaki dari si jangkrik nyangkut di tenggorokan saya dan usai keselek, sisanya saya buang. Ah well, yang penting da nyobain.
Usai jalan di Patong, kami pun kemudian pulang ke Hostel untuk beristirahat. Tak lupa mampir terlebih dahulu ke 711 terdekat untuk menikmati bir Singha perdana kami yang rasanya mantap. Jauh lebih enak dari Bintang yang selalu berbeda rasanya dari satu botol ke botol yang lain. Buaian rasa lelah dan Singha membuat kami ikhlas melewatkan kesempatan untuk menikmati malam Phuket yang liar. Esok hari, kami kembali.
Dari bangku sekolah, aku udah tertarik dengan Geografi dan membayangkan hidup di negara lain. Aku sampai membabat habis seluruh jilid Ensiklopedia Negara dan Bangsa. Tapi sama kayak kamu koh, aku hanya menganggapnya mimpi. Kondisiku yang berasal dari kalangan menengah ke bawah berpikir bahwa traveling ke luar negeri itu cuma buat orang kaya.
Namun lalu di medio yang sama dengan booming buku Claudia Kaunang, booming juga blog-blog travel yang banyak membahas backpacker ke Asia Tenggara. Influence-ku waktu itu adalah blognya mas Yogha Pratama dan Adis WhateverBackpacker. Tahun 2013, di tahun terakhir kuliah, aku akhirnya melangkah mewujudkan impian dengan jalan-jalan ke Singapura.
Soal reservasi hostel, aku lebih suka Booking.com daripada Hostelworld atau Hostelbookers. Pilihannya lebih banyak, foto-fotonya lebih lengkap, tampilannya lebih enak, dan bisa bayar di tempat juga.
Aku ke Phuket April/Mei 2018 lalu, ambil promo Malaysia Airlines Jakarta – Phuket via KL Rp700 ribu saja hehe.
Soal taksi, aku pertama kali naik di luar negeri itu tahun 2016. Ternyata di Malaysia nggak mahal-mahal amat, di Bangkok malah terbilang murah, bisa lebih murah daripada naik BTS/MRT kalau dibagi 3 atau 4 orang. Jadi dari situ, aku nggak lagi anti naik taksi. Kalau memang butuh, ya naik naik aja hehe.
Dulu jamannya masih suka tinggal di hostel, hostels.com n hostelbookers selalu jadi idola kaena booking.com belum begitu populer saat itu. Sekarang mah enakan booking.com, lengkap n banyak pilihan. Phuket bikin kangen n enaknya bisa sekalian turun ke malaysia. Bikin satu trip yang panjang n berkesan.