Saya terobsesi dengan Kekaisaran Romawi Timur alias Byzantium. Bagi pembaca setia Gurukelana.com, anda mungkin menyadari betapa saya sering sekali mengunjungi bangunan peninggalan Kekaisaran yang dulu pernah menguasai wilayah Asia Minor sampai Eropa. Dari Hagia Sophia, reruntuhan Great Palace, Hippodrome sampai gereja-gereja dengan mosaik indah di Ravenna, saya menelusuri jejak peninggalan Byzantium. Hari ini adalah hari terakhir saya di Istanbul dan saya akan menambah daftar Byzantium saya dengan mengunjungi Yedikule (Fortress of Seven Towers).
Setelah kenyang dengan sarapan di Van Kahvalti Evi, kami menumpang Tram menuju Sultanahmet untuk sekedar nongkrong di Sultanahmet Square. Kunjungan ke Istanbul rasanya kurang pas jika tidak menyapa Hagia Sophia dan Blue Mosque yang ikonik itu. Walaupun kami sudah pernah mengunjungi kedua bangunan ini, kami tetap terpukau dengan keindahan bangunan yang usianya sudah lebih dari seribu tahun. Hanya melihat dari luar di bawah pohon yang rindang, kami menikmati suasana siang yang terik di depan Hagia Sophia. Hagia Sophia telah menjadi penanda akhir dari perjalanan kami selama 3 minggu. Menikmati keindahannya adalah bagai menatap akhir liburan kami dan kembalinya kami ke dunia nyata. Akhir indah dari sebuah petualangan yang luar biasa.
Setelah ‘pamitan’ dengan Hagia Sophia, kami berjalan menuju stasiun kereta Sirkeci untuk menumpang kereta Marmaray menuju Stasiun Kazlicesme yang terletak tak jauh dari Yedikule. Sirkeci Station juga merupakan tempat yang bersejarah. Dulu stasiun ini merupakan titik terminus dari Orient Express yang mengantarkan penumpang dari Paris menuju Istanbul. Kereta mewah dengan layanan VIP ini melaju dari Paris melalui kota-kota besar Eropa seperti Strasbourg, Karlsruhe, Vienna, Budapest, Bucharest, Varna dan berakhir di Sirkeci, Istanbul. Perjalanan yang menempuh jarak 3094 kilometer ini memakan waktu selama 80 jam. Tentu penumpang tidak akan bosan berada dalam kereta mewah ini karena layanan kereta ini akan membuai penumpang dalam kenyamanan ala bangsawan. Kabin yang ekslusif dengan layanan butler (pelayan ala bangsawan), menu makanan mewah dan hiburan musik klasik ditambah pemandangan Eropa yang indah membuat penumpang betah berlama-lama dalam kereta mewah ini.Setelah menempuh perjalanan panjang, penumpang kereta memasuki Istanbul dan mereka akan menikmati pemandangan tembok Constantinople yang kokoh serta bangunan mesjid ala Ottoman yang membangkitkan nuansa historis para penumpang. Penumpang yang kebanyakan orang Eropa Barat ini akan melihat dan mengalami sendiri benturan budaya Barat dan Timur yang membaur di Istanbul, dan semua di mulai di Sirkeci, stasiun akhir Orient Express. Bayangkan penumpang dari beragam bangsa Eropa berkumpul disini untuk menumpang kereta mewah kembali ke kampung halamannya setelah menikmati keindahan Istanbul dan segala kehangatannya. Sekarang, stasiun kereta ini sepi dan terkesan terbengkalai. Tidak ada lagi suasana internasional atau aura eksotis seperti yang digambarkan oleh Agatha Christie melalui novelnya “Murder at the Orient Express”. Orient Express, kereta yang kesohor itu telah berhenti beroperasi pada tahun 1960an. Stasiun Sirkeci pun tidak lagi menjadi pemberhentian terakhir bagi kereta internasional yang hendak ke Istanbul. Stasiun Halkali yang letaknya cukup jauh dari pusat kota menggantikan peran Sirkeci. Namun Sirkeci masih menyisakan kegemilangan masa lampau yang layak untuk dikunjungi. Facade bangunan yang indah dengan kaca mosaik yang menggambarkan campuran budaya Islam dengan Eropa masih bisa kita nikmati. Sebuah museum kecil yang menyimpan memorabilia Sirkeci dari masa lampau dapat memuaskan rasa penasaran anda, apalagi jika anda pernah membaca novel “Murder at the Orient Express”.
Kereta Marmaray Line melaju dengan cepat meninggalkan Stasiun Sirkeci. Kami tidak perlu menunggu lama untuk sampai di Stasiun Kazlicesme yang ternyata berada jauh dari tempat para turis bergerombol. Tidak ada turis yang turun di stasiun ini seperti kami. Ketika kami keluar dari stasiun, kami mendapati jalan kosong dengan sesekali dolmus lewat. Penampakan benteng peninggalan Byzantium terlihat di kejauhan dan seolah memanggil saya ke arahnya. Sinar mentari yang terik membuat si Nyonya urung mengikuti jejak freak si suami yang sudah tak sabar ingin mendaki benteng Yedikule. Si Nyonya pun memutuskan untuk menunggu dengan sabar di stasiun sementara saya berjalan di bawah teriknya matahari menuju Yedikule.
Yedikule Fortress dulunya merupakan bagian dari Theodosian Wall yang melindungi kota Constantinople dari serangan musuh dari darat. Setelah jatuhnya Constantinople ke tangan Sultan Mehmet II, bagian dari tembok ini diperkuat dengan benteng-benteng kokoh yang kini dikenal dengan nama Yedikule. Yang unik dari Yedikule adalah, gerbang utama kota Constantinople yaitu Porta Aurea (Gerbang Emas) terletak di satu sisi dari Yedikule. Gerbang ini dulunya merupakan tempat Kaisar dan pasukannya masuk kota dengan prosesi kemenangan. Gerbang kota ini dinamakan gerbang emas karena dulu pintu gerbang kota ini benar-benar dibuat dari emas murni, lambang betapa kayanya Kekaisaran Byzantium kala itu. Konon Constantine XI, Kaisar Byzantium yang terakhir, gugur mempertahankan gerbang ini setelah bertempur melawan pasukan Jannisari yang jumlahnya 10 kali lipat pasukan Byzantium kala itu. Menurut legenda, Constantine XI tidak tewas tapi diubah menjadi patung marmer yang tersembunyi di Gerbang Emas. Mendengar legenda ini, Sultan Mehmet II menutup Gerbang Emas dan membangun pemakaman di depan gerbang ini.
Dengan latar belakang yang begitu dramatis, saya pun semakin semangat berjalan menuju Yedikule. Panasnya mentari musim panas tidak saya hiraukan dan jejeran tembok benteng Theodosius yang setia menjaga Constantinople pun mulai tampak di hadapan saya. Tembok berukuran besar ini masih kokoh berdiri walau banyak menaranya sudah lapuk dimakan usia. Dua patung Jannisaries, tentara elite Ottoman, berdiri kokoh menjaga gerbang yang kemudian menghantarkan saya ke kawasan pemukiman penduduk. Sempat bingung mencari pintu masuk benteng raksasa ini, saya kemudian dipanggil oleh seorang wanita yang tengah menjemur baju di balkin rumahnya. “It’s closed. Police.” katanya sambil menunjuk sebuah portal jalan dengan beberapa mobil polisi yang terparkir dekat portal. Ternyata Yedikule telah lama ditutup untuk publik dengan alasan yang tidak diketahui. Saya pun kemudian berjalan balik menyusuri tembok kembali ke stasiun Kazlicesme dengan wajah yang kuyu. Belom berjodoh dengan Yedikule.
Kegagalan saya mengunjungi Yedikule merupakan bagian terakhir dari perjalanan saya selama 21 hari dari Paris sampai Istanbul. Saya dan si Nyonya kemudian kembali ke Kadikoy untuk mengambil barang-barang titipan kami di apartemen Sule. Sule menyambut kami dengan ramah dan memberikan kesan yang mendalam bagi kami. Selalu menyenangkan rasanya untuk memiliki teman baru dalam setiap perjalanan kami. Kami pun kemudian menumpang kereta dari Kadikoy dan beranjak menuju Istanbul Ataturk airport yang ternyata merupakan perpisahan kami yang terakhir dengan airport penuh kenangan ini. Sampai jumpa lagi Istanbul, ku tahu ini bukan terakhir kali aku berpisah denganmu.
Istanbul benar-benar penuh pesona. Hal yang paling menyenangkan, kemana pun kaki melangkah, selalu ada hal baru yang bisa ditemukan di setiap sudut kota. Entah itu reruntuhan benteng, mesjid tua, gereja tua, synagogue, rumah tua hingga taman-taman yang apik. Tak ada yang bisa membuatku bosan dengan Istanbul.
i feel you, mbak. Selalu pengen balik ke Istanbul karena kangen dengan suasana n peninggalan sejarahnya. Mbak bisa baca buku A Memoir of Istanbul karya Orhan Pamuk untuk nostalgia. Buku yang bagus buat pecinta Istanbul.