Bosnia memberikan kesan yang mendalam bagi kami berdua. Negara yang kaya dengan tempat wisata yang indah, penduduknya yang ramah dan makanannya yang sumpah bikin nagih. Namun sekarang tiba saatnya bagi kami untuk berangkat menuju Dubrovnik, Kroasia tujuan kami selanjutnya. Setelah mengunci pintu dan berpamitan dengan Dino, kami pun berjalan menuju terminal bis. Udara pagi menemani langkah kami yang masih terbuai dengan rasa kantuk yang selalu menyertai kami di pagi hari. Di kejauhan, mata saya tertuju pada sebuah bangunan tinggi namun tinggal kerangkanya saja. Bangunan ringsek yang dulunya merupakan bank ini sekarang dijuluki Sniper’s Tower karena dari tempat ini sniper mengincar penduduk Bosnia dan menebar teror saat Perang Bosnia. Bangunan ini dan juga beberapa peninggalan perang di Mostar merupakan suatu pengingat akan masa lalu kelam yang ingin dilupakan para penduduk Bosnia. Semoga masa depan memberikan harapan yang lebih baik bagi Bosnia.
Kami sampai di terminal bis yang sepi dengan beberapa bis yang terparkir di peron. Buat yang tidak biasa dengan pemandangan sepi di bangunan besar ala komunis ini mungkin akan merasa terintimidasi. Halaman besar, kios sepi dan hanya segelintir orang yang menunggu bis sungguh membuat heran apakah ini terminal atau bangunan terlantar. Kami duduk sebentar sambil menunggu bis dan seorang pengemis cilik datang untuk meminta-minta. Suatu gambaran yang miris mengenai Bosnia atau negara yang baru berkembang, ketimpangan ekonomi dan permasalahan kesejahteraan yang masih mendera penduduknya. Saya menolak dengan halus dan pengemis ini pun pergi berlalu begitu saja. Sementara itu bis yang akan membawa kami ke Dubrovnik tiba.
Bis berwarna biru dengan tempat duduk dua-dua ini mungkin merupakan bis paling sederhana sepanjang perjalanan kami. Tempat duduk yang boleh dibilang kurang empuk, fasilitas basic tanpa layanan pramugara seperti di bis Regiojet namun untungnya bis ini memiliki wifi yang kadang nyambung kadang kagak. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, simcard Orange yang saya beli dari tanah air tidak berlaku di Bosnia. Sales simcard tersebut sudah mewanti-wanti saya agar tidak menyalakan internet di Bosnia mengingat hal ini akan membuat layanan internet saya hangus. Saya pun manut dan tidak menyalakan layanan internet sama sekali di Bosnia. Namun hal yang tak terduga pun terjadi.
Bis yang membawa kami ke Dubrovnik melaju naik turun jalur pegunungan Bosnia yang berkelok ke arah jalur pantai Adriatik. Kami pun kemudian melalui pos imigrasi Bosnia dan Kroasia. Kami pun berada di wilayah Kroasia dan saya pun kemudian iseng menyalakan internet saya tanpa mengetahui kalau kami kemudian segera masuk ke wilayah Bosnia lagi. Dan terjadilah hal yang paling saya takuti ketika berada di negara asing. Internet mati dan kami tidak tahu berada di mana. Bis berhenti di sebuah kota kecil yang menghadap Laut Adriatik bernama Neum. Kami pun turun dari bis dan beristirahat sebentar. Saya yang masih mengutak-ngatik handphone saya mengira ada yang salah dengan settingan internet masih belum menyadari kalau kami berada di Bosnia. Si Nyonya yang kelaparan pun kemudian mengajak saya untuk membeli makanan di restoran tempat bis berhenti. Saya sedikit terkejut ketika menu yang terpampang di restoran ini menggunakan Bosnian Marks sebagai mata uang, bukannya Kuna, mata uang Kroasia. Sadar bahwa saya telah melakukan kesalahan dengan menyalakan internet di Bosnia, saya pun mulai galau.
Setelah berhenti selama setengah jam, bis pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju Dubrovnik. Pemandangan Laut Adriatik mulai terlihat mendominasi perjalanan kami. Si Nyonya yang seperti biasa tertidur damai tidak terlihat terganggu oleh saya yang mulai galau karena internet mati. Wah cilaka ini, bagaimana nanti pas di Dubrovnik? Bisa ga ya nyari penginapan kami? Saya pun berusaha menyembunyikan kekhawatiran saya walau sebenarnya saya juga ngerasa ngeri-ngeri sedap. Bis pun kemudian sampai di pos perbatasan Bosnia dan Kroasia. Kali ini proses imigrasi berlangsung cukup lama. Beberapa penumpang yang kelihatannya orang Bosnia diminta masuk ke kantor imigrasi sedangkan sisanya termasuk kami hanya menunggu paspor kami dicap di bis. Petugas imigrasi masuk ke bis sambil membawa setumpuk paspor dan memanggil kami satu persatu dan memberikan paspor kami yang sudah dicap. Semua proses ini memakan waktu 1 jam. Walaupun jarak Mostar dan Dubrovnik di peta tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2,5 jam dengan mobil, ternyata kami membutuhkan waktu 5 jam untuk mencapai Dubrovnik.
Terminal Dubrovnik ramai dengan banyak penumpang yang kebanyakan orang Eropa hilir mudik dan kami kemudian turun dari bis dan terlihat bingung. Sambil menyembunyikan rasa cemas saya, saya pun menyarankan kita makan siang di sebuah restoran di depan terminal. Restoran yang kebanyakan pengunjungnya turis yang menunggu bis ini memiliki wifi sehingga saya bisa mencari lokasi Mabuta Rooms, penginapan kami malam ini. Mabuta Rooms yang terletak tak jauh dari Terminal Bis ini ternyata terletak di atas bukit dan kami harus naik tangga yang cukup tinggi untuk mencapainya. Yah apa boleh buat, penginapan dengan view laut Adriatik ini cukup murah untuk tempat wisata semahal Dubrovnik. Setelah sampai di penginapan, saya terus berhubungan dengan Ezzy Card, penyedia simcard Orange yang saya beli di tanah air. Kesimpulannya, simcard saya memang mati karena ulah saya sendiri dan hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah menunggu sampai esok karena Ezzy Card akan berupaya untuk menghubungi pihak Orange. Ah tampaknya kami akan berkelana di Dubrovnik tanpa bantuan internet sama sekali. We will walk in the blind dan kembali lagi ke zaman menggunakan peta manual.
Further info:
- Jika anda membeli simcard Eropa, pastikan cakupan wilayahnya dan jangan sekali-kali menyalakan simcard anda di luar area cakupan karena akibatnya sangat fatal,simcard anda akan berhenti berfungsi. Saya beruntung membeli simcard di Ezzy Card yang sangat membantu saya dalam mengaktifkan kembali simcard saya. Jika anda ingin membeli simcard Eropa atau negara lainnya, anda bisa menghubungi Facebook Page Easy Connect.