Stari Most, Mostar, Bosnia (2)

Sekelumit Kisah Mengenai Bosnia

Terminal bis di Split terbilang ramai walaupun jarum jam masih menunjukkan pukul 9 pagi. Kami sudah bersiap menunggu bis kami menuju Mostar. Berbekal beberapa snack dan roti hasil wara-wiri singkat ke toko roti dan minimarket yang buka jam 6 pagi. Matahari hangat menyinari bangku tempat kami menunggu bis datang dan muka si Nyonya yang masih ngantuk mulai dibuai oleh angin laut yang lembut. Tak lama kemudian, bis yang akan membawa kami menuju Bosnia pun tiba.  Bis kawasan Balkan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada kesan “wah” seperti saat kami di Ceko dan Slovenia. Bis dengan tempat duduk dua-dua, AC yang dingin, dan kenek yang memeriksa tiket ketika bis sudah jalan mengingatkan saya pada bis lokal di Jawa. Wifi pun tidak ada di bis ini. Namun bis ini kuat melaju di jalan samping pesisir Dalmatia berkelok menuju pegunungan tempat Mostar,kota kecil peninggalan Wangsa Ottoman yang teramat indah.

Terminal Split, Kroasia

Di dalam perjalanan menuju Mostar, pikiran saya pun mengawang-awang memikirkan tempat yang akan kami kunjungi. Bosnia Herzegovina, negara tujuan kami selanjutnya merupakan negara yang selalu bersinonim dengan perang. Bagi kami yang lahir di tahun 80an, Bosnia identik dengan konflik bersenjata yang terjadi di tahun 1990an. Saking membekasnya di ingatan generasi kami, banyak yang selalu bertanya mengapa kami berani mengunjungi Bosnia? Bukannya itu negara porak-poranda akibat perang? Apa aman mengunjungi Bosnia? Saya pun yakin mertua saya bakalan mencak-mencak kalo tahu saya membawa putrinya yang tercinta menuju Bosnia. Begitu banyak pandangan negatif dan pesimis mengenai negara dengan populasi umat muslim besar di Eropa ini, sehingga saya merasa perlu untuk menuliskan sejarah singkat negara ini untuk membantu memahami situasi Bosnia.

Jauh sebelum negara Bosnia Herzegovina terbentuk, kawasan yang kita kenal sebagai Bosnia sekarang merupakan tempat tinggal bangsa Illyria yang kemudian ditaklukkan oleh Bangsa Romawi. Kekaisaran Romawi mengubah peta kekuasaan di kawasan ini dan menamakan daerah ini provinsi Dalmatia dan Pannonia. Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan suku-suku barbar, kawasan ini kemudian menjadi tempat tinggal bangsa Slavia. Bangsa Slavia merupakan nenek moyang bangsa Bosnia, Serbia, Kroasia, Ceko, Slovenia dan berbagai negara di kawasan Balkan. Bangsa Slavia sebagian besar memeluk agama kristen. Bangsa Serbia memeluk agama Kristen Orthodoks, Bangsa Kroasia memeluk agama Kristen Katolik sedangkan Bangsa Bosnia memeluk agama Kristen Bogomil yang merupakan versi Kristen lokal yang berbeda dari Kekristenan mainstream saat itu. Ketika Kesultanan Ottoman memperluas pengaruhnya ke daerah Balkan dan menguasai Bosnia, Islam pun diperkenalkan di kawasan ini. Penduduk Bosnia mengadopsi agama Islam dan budaya Ottoman dengan damai menjadikan mereka sebagai bangsa Eropa Muslim satu-satunya di kawasan Eropa kala itu. Kesultanan Ottoman menjalankan kebijakan toleransi agama sehingga para penduduk yang beragama non-muslim pun dapat menjalankan agamanya tanpa gangguan. Namun para penduduk yang beragama Islam mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan politik. Bosnia tumbuh pesat di bawah pemerintahan Kesultanan Ottoman namun sayangnya ketika kekuasaan Ottoman mulai melemah, Bosnia diserahkan ke Kekaisaran Austria Hungaria yang langsung memperbaiki infrastruktur Bosnia terutama Sarajevo. Bangunan-bangunan Baroque dan gaya hidup bangsa Eropa pun diperkenalkan. Di Sarajevo anda bisa melihat bangunan-bangunan Baroque peninggalan Kekaisaran Austria berdiri berdampingan dengan bangunan khas Ottoman. Penduduk Bosnia menjadi modern dengan pakaian ala barat namun tidak melupakan budaya Ottoman seperti minum kopi dan mengenakan fez, peci ala Ottoman.

IMG20180624154226
Salah satu bangunan saksi perang Bosnia di Mostar

Namun tidak semua penduduk Bosnia menerima Kekaisaran Austria sebagai pemerintah mereka, berbagai organisasi bawah tanah berusaha memerdekakan Bosnia. Setelah runtuhnya Kekaisaran Austria Hungaria, Bosnia berjuang untuk mencapai kemerdekaannya. Timbulnya sentimen kebangsaan bangsa-bangsa keturunan Slavic membuat beberapa negara menyatukan diri membentuk negara yang disebut Kingdom of Serbs, Croats, and Slovenes. Walaupun Bosnia termasuk dalam negara ini, etnik Bosnia dianggap anak tiri dari bangsa Slavia dan tidak dianggap. Kingdom of Serbs,  Croats, and Slovenes pun kemudian bertransformasi menjadi Yugoslavia. Dalam negara Yugoslavia ini pun, etnis Bosnia masih dianggap sebagai warga kelas dua. Pemerintah yang didominasi oleh etnis Serbia dan Kroasia cenderung memandang rendah etnis Bosnia. Setelah kematian pemimpin besar Yugoslavia, Josef Broz Tito, negara-negara yang bergabung dalam federasi Yugoslavia pun satu-persatu melepaskan diri. Bosnia Herzegovina pun ikut memerdekakan diri namun masalah baru pun timbul. Bosnia Herzegovina merupakan negara multi etnis dengan etnis Bosniak sebagai mayoritas dan etnis Serbia serta Kroasia sebagai minoritas. Gesekan antar etnis dan kecurigaan politik yang sudah menghangat menjelang bubarnya Yugoslavia membuat suasana memanas.Etnis Serbia di Bosnia dan etnis Kroasia memiliki agenda sendiri untuk membentuk pemerintahan dengan wilayah kekuasaan sendiri. Etnis Serbia membentuk Republika Sprska dan etnis Kroasia membentuk Herzeg-Bosnia sebagai representasi kekuatan mereka. Masing- masing etnis tersebut didukung oleh pemerintah negara luar, Republik Serbia dan Republik Kroasia, yang ingin memperluas pengaruh mereka dengan dalil kesamaan etnis dan agama. Etnis Bosnia yang tidak memiliki sekutu kemudian terperangkap dalam perang dua sisi melawan etnis Serbia dan etnis Kroasia. Peperangan ini awalnya dimenangkan oleh pihak etnis Serbia yang memiliki persenjataan yang lebih memadai namun etnis Bosnia kemudian bersekutu dengan etnis Kroasia untuk memukul mundur pasukan etnis Serbia. Di balik layar, pemimpin Republik Serbia dan Republik Kroasia berunding untuk mengadakan pembagian wilayah etnis Bosnia untuk kepentingan etnis Kroasia dan Serbia. Presiden Bosnia yang terdesak meminta bantuan internasional untuk menengahi konflik dan pertumpahan darah yang semakin buruk. PBB mengirim Pasukan Perdamaian namun pasukan ini hanya memiliki otoritas untuk memberi makan para penduduk tanpa kekuatan nyata untuk melindungi mereka. Sarajevo, ibukota Bosnia, dikepung pasukan etnis Serbia dibawah kendali Jendral Karadzic dan pembantaian terus berlangsung, ironisnya di depan mata pasukan PBB. Setelah 4 tahun penuh kekerasan dan pembantaian, akhirnya dunia internasional pun mulai bergerak. NATO  membombardir titik-titik kekuatan pasukan Serbia dan mengakhiri perang sektarian ini di meja perundingan. Dayton Peace Accords, yang diprakarsai oleh para diplomat Amerika Serikat, membagi Bosnia Herzegovina menjadi tiga bagian : Federasi Bosnia dan Herzegovina yang mencakup etnis Bosnia dan Kroasia, Republika Srpska yang didominasi etnis Serbia, dan Distrik Brcko yang mencakup penduduk multi etnis.

Perdamaian yang dicapai ini diterima oleh penduduk dengan napas lega namun kecurigaan antar etnis masih ada. Ketika memasuki wilayah Bosnia Herzegovina, saya masih terheran-heran melihat banyaknya bendera Kroasia yang dipasang di rumah-rumah penduduk. Ternyata wilayah yang saya lalui adalah wilayah etnis Kroasia. Para penduduk merasa lebih nyaman tinggal dengan etnis mereka sendiri walaupun interaksi antar etnis mulai membaik seiring dengan lahirnya generasi baru yang semakin optimis dan belajar melupakan luka perang dua dekade lalu.

Tanpa terasa, kami pun sudah sampai di terminal East Mostar. Terminal bis yang dekat dengan kota tua Mostar ini terlihat kuno dengan layanan yang sangat sederhana. Beberapa loket bis dan satu kantin melayani pengunjung yang kala itu bisa dibilang hanya segelintir saja. Istri Dino, host Airbnb kami di Mostar, menjemput kami di terminal. “I am surprised that you are pretty casual seeing a woman in a hijab.” katanya. Kami menjelaskan kalau kami berasal dari Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Istri Dino membawa kami dengan taksi menuju rumahnya yang hanya 5 menit dari terminal bis. ” My house is near the terminal but it is uphill, so it will be hard for you with your luggage to reach on foot.” jelasnya sambil membukakan pintu taksi. Sampailah kami di Mostar, kota yang belakangan ini menjadi permata dalam mahkota pariwisata Bosnia. Petualangan kami di negara yang sangat indah ini pun dimulai.

One comment

Leave a Reply