Setelah ngumpet dari sinar matahari yang ganas di apartemen Lasha beberapa jam, kami pun akhirnya keluar dari “persembunyian” kami. Bukannya kami tidak menikmati Tbilisi dan sinar mentarinya, namun kami merasa lebih baik menikmati tempat baru dengan kesan yang baik,bukan panasnya doang. Terbukti setelah ngadem beberapa jam, kami kembali menapakkan kaki kami di jalan berbatu Old Town menuju Bridge of Peace. Jembatan futuristik karya arsitek Italia Michele de Lucchi ini merupakan jembatan yang menghubungi kawasan Old Town dengan Rike Park yang terletak di seberang sungai Kura. Walaupun terlihat indah (apalagi saat malam hari), jembatan ini banyak dikritik orang karena desainnya yang kontroversial dan mirip “pembalut wanita”. Yah..kalo dibayangin mang mirip juga sih. Anyway, dari jembatan ini kita bisa menikmati pemandangan sungai Kura yang juga menjadi obyek wisata. Beberapa perahu dengan penumpang yang kebanyakan turis sibuk hilir mudik melawan arus sungai Kura yang mengalir perlahan. “Ayo foto-foto dulu disini,say.” panggil si Nyonya yang sudah sibuk motret-motret dari kami berjalan di jembatan ini sementara saya sibuk mengabadikan pemandangan Tbilisi dengan mata dan indra saya sendiri. Hangatnya sinar mentari sore dengan hembusan angin yang semilir membuat suasana sore di sini sungguh nyaman untuk sekedar jalan-jalan santai. Narikala Fortress berdiri di belakang kami dengan kokohnya seolah menantang kami untuk mengunjunginya.
Setelah menyeberangi Bridge of Peace, kami berjalan menuju station cable car yang telah menunggu untuk mengantarkan kami ke Narikala Fortress. Ada dua cara untuk mencapai Narikala Fortress yang terletak di atas bukit. Pertama dengan naik cable car dari Rikhe Park dan kedua dengan berjalan kaki dari kawasan Old Town dekat pintu masuk Botanical Park. Berhubung kami adalah petualang-petualang yang malas, kami akhirnya memilih opsi pertama yaitu naik cable car. Awalnya kami bingung bagaimana membayar ongkos naik cable car ini,namun setelah mengamati penumpang lainnya, kami menyadari kalau kami membutuhkan MetroMoney Card. MetroMoney Card adalah kartu transport yang berfungsi sebagai kartu transport berbayar yang bisa diisi ulang. Kartu ini bisa dibeli di loket stasiun Metro manapun atau di loket cable car Rike-Tbilisi. Uniknya kartu ini tidak mengikat untuk satu orang saja,sehingga jika anda berpergian bersama teman, cukup membeli satu kartu dan mengisi kredit secukupnya. Harga Metro Money Card hanya 2 lari dan ongkos sekali naik cable car hanya 1 lari per orang.
Setelah membeli Metro Money Card, kami pun dipersilahkan masuk ke platform keberangkatan cable car dan masuk ke salah satu kereta bersama seorang ibu dan dua orang anak kecil. Cable car langsung bergerak menanjak melewati sungai menuju bukit tempat Narikala Fortress berada. Saya dan nyonya menikmati pemandangan Tbilisi dari cable car dengan terkagum-kagum. Sinar mentari sore menyinari sungai dan bangunan-bangunan kota Tbilisi bermandikan sinar kuning kemerahan. Perahu yang hilir mudik di sungai Kura dan muda-mudi yang nongkrong di Rike Park membuat pemandangan yang kami lihat ini seperti lukisan hidup. Ketika mendekati Narikala Fortress, kami melihat sebuah patung wanita raksasa berdiri memegang sebuah pedang dan keranjang makanan. Ah..Mother of Georgia telah menyambut kami.
Sesampainya di Narikala Fortress, kami langsung berjalan menuju Mother of Georgia.Patung logam berwujud seorang wanita yang memegang pedang dan keranjang makanan ini konon merupakan simbol dari sikap penduduk Georgia yang ramah pada tamu dan keras terhadap musuh. Penduduk Georgia memang terkenal ramah dan sangat welcome terhadap wisatawan. Saya sendiri selalu menikmati keramahan mereka yang walaupun terlihat kaku namun sangat hangat dan selalu siap membantu. “Guests are from God” begitulah filosofi penduduk Georgia yang selalu menganggap tamu adalah berkah dari Tuhan yang harus diterima dengan baik. Si nyonya yang matanya tajam langsung menyadari kehadiran penjual gulali yang sedang sibuk menggulung gula kapas di pinggir jalan. “wah ada gulali. Di Tbilisi ada gulali!” serunya sambil menghampiri penjual dan segera 2 lari berganti dengan sebuah gulali merah muda. Cotton candy is definitely her weak spot haha.
Setelah berfoto dengan Mother Georgia, kami berjalan menuju benteng Nerikala melalui sebuah gerbang kuno yang mengingatkan saya pada film Game of Thrones. Jalanan berbatu, benteng dan suasana abad pertengahan adalah weak spot saya. Saya langsung merasa kerasan dan sibuk berjalan kesana kemari menikmati pemandangan Tbilisi dari benteng Narikala. Ketika ingin mencapai bangunan atas dari benteng, langkah kami terhenti setelah mendengar suara teriakan girang beberapa turis. Ah tampaknya ada Zip line (semacam flying fox) dari Narikala menuju Botanical Garden. Beberapa turis melayang dengan bergantung pada kabel logam yang terbentang menuruni lembah yang indah. Sayangnya, jam berkunjung ke Botanical Garden akan berakhir sebentar lagi sehingga saya tidak bisa ikutan. Ah lain kali saja kalau ke Georgia lagi.
Kami pun melanjutkan jalan-jalan sore kami sampai di bagian paling atas Narikala Fortress. Benteng yang sudah ada dari abad ke 4 ini sangat menakjubkan. Berdiri di tengah kota Tbilisi, bangunan ini tampak seperti pelindung kota yang berdiri di atas bukit tinggi siap untuk mengawasi dan menyerang pihak musuh. Gereja Saint Nicholas berdiri dengan anggunnya di pelataran benteng yang tua. Gereja yang baru dibangun ini didirikan untuk menggantikan gereja sebelumnya yang sudah rusak parah.Berdiri diantara sela benteng, kami menikmati pemandangan Tbilisi sore yang sungguh tak terlupakan. I fell in love with Tbilisi already. Indah dan selalu memberi kejutan di saat anda tidak mengharapkannya, seperti restoran Samikitno yang kami kunjungi setelah selesai mengunjungi Narikala Fortress.
Samikitno adalah nama restoran yang terletak di kawasan Old Town Tbilisi. Restoran yang tidak memiliki papan nama dalam bahasa Inggris ini mudah dicari dan anda tidak akan nyasar mencarinya. Cukup lihat restoran bertingkat paling besar di kawasan Old Town, nah itu dia Samikitno. Restoran ini walau terlihat mewah harganya masih terjangkau di kantong. Ketika memasuki restoran, kami jarang melihat turis yang makan di tempat ini. Kebanyakan orang lokal yang berkumpul bersama teman atau keluarga dan menikmati makan malam. Karena ruang utama ramai, kami pun diarahkan ke lantai basement yang sejuk dan nyaman. Saat menu disajikan, saya langsung tersenyum sumringah karena menu utama dari restoran ini adalah Kinkhali. Khinkali adalah makanan khas Georgia yang wujudnya mirip dengan Xiao Long Bao jumbo. Konon makanan ini diperkenalkan oleh Marcopolo yang mengunjungi Georgia sepulangnya dari negeri Tiongkok. Benar atau tidaknya legenda ini, satu hal yang pasti, Kinkhali enak banget. Segera saya memesan 4 buah untuk kami berdua (dan kemudian nambah 4 buah lagi he3).
Ketika pesanan kami tiba, saya langsung sok-sokan mengajari si Nyonya cara makan Kinkhali. Kinkhali bukan makanan sembarangan. Ada ritualnya loh. Pertama anda pegang bagian kerucutnya, gigit sedikit pinggiran Kinkhali sampai berlubang, lalu seruput kuahnya, baru kemudian makan sisa khinkalinya. Jangan lupa sisakan kerucutnya atau anda dianggap pelit. Teman terbaik makan Kinkhali adalah wine atau bir Georgia yang mantap dan murah. Ah..dijamin makan di Georgia murah dan puas deh.
[…] menikmati makan malam di Samikitno, kami pun kembali ke Apartemen Lasha. Si nyonya yang sudah kenyang dan capek berjalan seharian […]
[…] Jalan-Jalan Sore di Tbilisi (Part 2): Narikala Fortress dan Samikitno Restaurant […]