Jalan-Jalan di Kawasan Old Town Tbilisi (part 1)

Setelah menjelajah sendiri, saya kembali ke apartemen untuk membangunkan si nyonya yang sudah terlelap cukup lama. Tbilisi terlalu indah untuk dinikmati dengan leyeh-leyeh di kamar apartemen seharian. Setelah mandi dan berberes, kami pun memulai petualangan kami di ibukota Georgia ini. Matahari bersinar terik mengawali perjalanan kami. Musim panas di Tbilisi memang intens dengan cahaya matahari yang bersinar kuat sepanjang hari. Walaupun tidak sepanas Athens, jalan-jalan di teriknya mentari Tbilisi bisa menguras tenaga dan tidak heran banyak penduduk yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, seperti siang ini. Untuk kawasan turis, kawasan Old Town terbilang sepi dengan sedikit turis dan penduduk lokal yang berjalan menyusuri jalan berbatu yang diapit oleh rumah-rumah tua nan unik.

Langkah kami terhenti ketika berhadapan dengan Bridge of Peace yang membentang di atas Sungai Kura. Jembatan yang wujudnya futuristik ini sangat kontras dengan bangunan-bangunan di kawasan Old Town yang kuno dan antik. Kami merasa seperti keluar dari setting film abad 18 menuju setting film masa depan, terutama ketika melihat bangunan Music Theater yang wujudnya mirip bangunan di film kartun Doraemon. Si nyonya pun terheran-heran melihat bangunan yang sepertinya ga nyambung dengan setting kota. Inilah Tbilisi, kota dengan pesona masa lalu yang juga berani berinovasi dengan pandangan masa depan. Bangunan-bangunan ini mungkin adalah representasi penduduk Tbilisi yang dinamis dan terbuka dengan pandangan modern.

Sebelum melanjutkan perjalanan kami, kami memutuskan mampir ke salah satu restoran tak jauh dari Bridge of Peace. Restoran dengan yang namanya ditulis dengan huruf Georgia ini ternyata baru membuka layanan dan seorang ibu-ibu Georgia langsung menyambut kami di dalam restoran yang unik ini. Restoran ini terletak di basement tipikal tavern di Eropa yang membuat kami merasa berada di setting film Inglorious Basterds (remember the bar scene?). Kami kemudian duduk di meja makan yang berada dalam cekungan tembok yang dibuat seolah mirip kamar untuk privasi pengunjung. Karena baru buka, hidangan yang tersedia hanya Katchapuri, sejenis roti berbentuk mirip kapal dengan telur diatasnya. Berhubung perut sudah lapar dan saya memang kebelet pengen nyobain Katchapuri, akhirnya kami pun memesan satu Katchapuri dan setengah liter wine. FYI, Georgia merupakan negara asal mula wine dan tradisi membuat wine telah ada di negara ini selama ribuan tahun. Wine Georgia terkenal nikmat dan juga murah. Walaupun cuma house wine, rasanya tetap nikmat di lidah.

Setelah menikmati Katchapuri dan wine, kami pun melanjutkan berjalan menuju Abanotubani yang merupakan kawasan pemandian air panas Tbilisi. Tbilisi memang terkenal dengan pemandian air panasnya yang bersumber dari mata air belerang di kawasan Abanotubani. Kata Tbilisi sendiri berarti “tempat hangat” yang memang sudah menjadi daya tarik tempat ini sejak abad pertengahan. Ketika berjalan menuju Abanotubani, kami melewati Sioni Church yang merupakan gereja Georgian Orthodox dengan arsitektur bangunan yang unik khas daerah Kaukasus. Bangunan gereja ini mengingatkan saya pada gereja Tigran Honents di reruntuhan kota Ani, Turki. Keduanya memiliki kubah lancip yang konon merupakan simbol Gunung Ararat tempat bahtera Nabi Nuh berada. Kami menyempatkan diri masuk ke dalam gereja yang sepi kala itu dengan beberapa pengunjung menyalakan lilin dan berdoa di hadapan ikon Bunda Maria dan para kudus. Gereja Orthodoks di Georgia tidak menyediakan kursi untuk umat dan umat biasanya berdiri ketika mengikuti misa. Suatu tradisi unik yang memperkaya wawasan saya tentang budaya kristiani di tempat ini.

Meninggalkan Sioni Church, kami berjalan sampai menemukan bangunan berkubah-kubah bata  yang ternyata merupakan pemandian air panas di Abanotubani. Bau belerang samar-samar tercium di sini dan kami bukannya terganggu malah penasaran dengan asal bau belerang tersebut. Saya menyempatkan diri untuk masuk ke dalam pemandian dan bertanya tentang harga yang harus dibayar untuk menikmati pemandian tersebut. Wah harganya ternyata cukup terjangkau 5 lari untuk pemandian umum dan 35 lari jika ingin menggunakan bilik dan kolam pribadi yang bisa dipakai selama 1.5 jam.

Tak jauh dari pemandian air panas, terdapat sebuah mesjid dengan arsitektur Persia berdiri diantara bangunan tua di Abanotubani. Jumah Mosque ini merupakan satu-satunya mesjid yang ada di Tbilisi yang memang merupakan kota dengan penduduk sebagian besar beragama Kristen Orthodox. Mengikuti jalan dari pemandian air panas, kami sampai di sebuah air terjun kecil dan jembatan yang penuh dengan gembok. Ternyata banyak orang yang memasang gembok di jembatan ini sebagai simbol ikatan asmara mereka. Di bagian atas terlihat Narikala Fortress yang berdiri teguh seolah menjaga Tbilisi dari marabahaya. Kami pun tak melewatkan kesempatan untuk berfoto-foto di tempat ini. Setelah berfoto, kami menyempatkan diri mampir ke Meidan Bazaar yang terletak di bawah jembatan menuju Rikhe Park. Meidan Bazaar ini banyak menjual pernak pernik oleh-oleh yang ramai dikunjungi turis. Karena merupakan wilayah turis,bazaar ini menjual oleh-oleh dengan harga sedikit lebih tinggi dibanding pasar-pasar lain di Tbilisi. Kami pun tidak membeli apa-apa ketika mengunjungi pasar ini.

 

Meninggalkan kawasan Abanotubani, kami berjalan menuju Rikhe Park untuk mengunjungi pasar loak paling terkenal di Tbilisi yaitu Dry Bridge Market. Niat iseng untuk melihat pasar loak akhirnya membuat kami berhadapan dengan cuaca panas dan matahari yang terik. Dengan susah payah dan keringetan, kami sampai di Dry Bridge Market yang sebenarnya adalah lapak PKL yang menjual berbagai barang bekas. Niat mau beli buku murah akhirnya pupus karena sebagian besar buku yang dijual adalah buku dengan huruf Georgia yang mirip sulur pohon anggur. Namun pengalaman melihat penduduk lokal berjualan adalah pengalaman otentik yang kami cari. Ada saja barang jualannya dari bekas tutup kipas angin sampai boneka perempuan dari plastik. Setelah menghabiskan waktu sebentar di Dry Bridge Market, kami pun berjalan kembali ke apartemen untuk bersembunyi dari sengatan sinar matahari jahanam.. (to be continued).

 

 

6 Comments

  1. Koh Hendro, selama muter di Tibilisi jalan kaki saja atau ada naik angkutn umum?
    Saya sepertinya mau copy paste rutenya Koh Hendro, karena saya di sana juga hanya 2 hari
    Btw untuk biaya jemput dari bandara di kenakan biaya berapa koh?
    saya rencana april kesana, landing jam 4 pagi dari istanbul dan berangkat lagi ke cappadocia jam 06;00

    Terima kasih untuk artikelnya koh, 2 jempol deh

    • Halo Lily, saya kebetulan tinggal di old town n Rustavelli jadi kemana-mana bisa jalan kaki. Tapi ketika saya mau ke tempat yang lebih jauh seperti desertir market n didube bus station, saya naik metro. kalo buat biaya jemputan, bervariasi sih, saya lupa tepatnya berapa. Tapi bisa dinegosiasikan sama pihak hotel atau host airbnb.

Leave a Reply