Kami meninggalkan Athens dengan Aegean Air yang lepas landas di tengah malam. Mata ngantuk dan badan yang lelah akibat jalan-jalan seharian di Athens yang panas membuat kami tidak menyia-nyiakan waktu untuk istirahat di pesawat. Saya baru bangun saat pramugari menyajikan makanan dan minuman untuk penumpang. Wah dapet makanan toh? Saya kira Aegean Air adalah pesawat low cost kayak RyanAir gitu, ternyata dugaan saya salah. Makanan lengkap dan juga minuman disajikan untuk penumpang jam 2 pagi! Saya pun membangunkan si nyonya yang masih terlelap dan agaknya enggan untuk makan. Setelah menghabiskan makanan, mata pun enggan terpejam lagi dan saya menghabiskan waktu menonton video promosi pariwisata Yunani yang dimainkan di monitor lcd di depan saya. Yunani memang mempesona. Berbagai tempat wisata dari Athens, Meteora, Santorini, Mykonos,Rhodes, dan banyak tempat lainnya membuat rasa ngantuk pun hilang. Yunani dan daerah sekitar Laut Mediterania lainnya memang memiliki daya tarik yang besar bagi saya. Sejarah, reruntuhan kota tua, makanan, laut yang biru membuat saya selalu memalingkan wajah saya ke daerah ini setiap kali merencanakan rencana liburan. Di luar kebiasaan saya, Georgia menjadi pilihan saya selanjutnya untuk berpetualang. Negara di pegunungan Kaukasus ini sudah menjadi incaran saya ketika mengunjungi Turki 3 tahun yang lalu. Negara yang berbatasan langsung dengan Turki ini memiliki banyak tempat wisata yang menyenangkan seperti Tbilisi,Kazbegi, Svaneti, dan kota-kota lain yang belum terekspos oleh industri pariwisata. Selain itu, biaya wisata di Georgia juga terbilang murah bahkan dibanding dengan Turki sekalipun. Begitu banyak daya tarik Georgia (don’t worry,I will write an article about this) sehingga saya pun yakin membawa si nyonya ke Georgia.
Setelah terbang selama 2 jam 45 menit, pesawat Aegean Air pun mendarat di bandara Shota Rustaveli Tbilisi International Airport. Jam masih menunjukan pukul 4 pagi dan kami langsung berjalan menuju imigrasi yang kala itu masih sepi. Seorang petugas imigrasi memeriksa paspor dan evisa kami. Si petugas agak menunjukkan muka masam dan bertanya,”You have a Schengen visa,why do you have an evisa as well?” Saya pun baru teringat akan peraturan baru yang diterapkan pemerintah Georgia bahwa pemilik visa Schengen yang masih berlaku dapat mengunjungi Georgia selama 90 hari. “I will admit you with the evisa okay.” jawab sang petugas setelah saya menjelaskan kalau saya tidak mengetahui peraturan tersebut. Setelah kami melalui proses imigrasi, kami langsung berjalan menuju pintu keluar dimana seorang pria paruh baya yang memegang kertas bertuliskan nama saya sudah menunggu.
Pria paruh baya ini adalah supir yang diutus oleh Lasha, host AirBnB kami di Tbilisi selama dua malam. Tanpa banyak bicara, pria ini langsung mengajak kami menuju tempat parkir. Namun saya mengisyaratkan ingin mengambil uang dan membeli SIM card untuk handphone saya. Dari beberapa counter SIM prabayar yang tersedia, saya memilih Beeline yang harganya murah meriah. SIM prabayar di Georgia memang murah dan efisien. Layanan internet yang cepat dan kuota yang besar membuat saya tidak ragu-ragu untuk membeli SIM card disini. Bayangkan dengan hanya 25 lari ( sekitar 75ribu rupiah) saya sudah mendapatkan satu SIM card dengan kuota 30 GB yang berlaku selama sebulan. Ajib kan?
Setelah mendapatkan SIM card dan mengambil uang, kami pun berangkat menuju apartemen Lasha dengan mobil. Dalam perjalanan honey moon kami, ini adalah kali pertama kami menumpang mobil dan tidak menggunakan transportasi umum. Alasannya simple, belum ada transportasi umum jam 4 pagi dan kami butuh tidur supaya bisa jalan-jalan di Tbilisi hari ini. Lebih baik santai sedikit daripada nongkrong kecapean di bandara menunggu kereta yang baru beroperasi sekitar jam 8 pagi. Mobil melaju di jalan kota Tbilisi yang lengang pagi itu melewati bangunan-bangunan kota Tbilisi yang unik. Melewati gedung-gedung bertingkat dan jalan-jalan yang lebar khas peninggalan Soviet, kami menemukan gedung-gedung dengan arsitektur yang rasanya cuma ada di komik Doraemon atau Astroboy. Unik dan agak nyentrik rasanya menemukan bangunan dengan wujud yang nyeleneh seperti Peace Bridge,Music Hall dan Bank of Georgia. Sang supir pun kemudian membawa kami menuju kawasan Old Town dengan jalan sempit yang berbatu dan menawarkan suatu kenyamanan seperti yang pernah saya rasakan dulu ketika pertama kali mengunjungi Istanbul.
Ketika sampai di apartemen, Lasha dan istrinya sudah menunggu kami. Lasha dengan senyumnya yang hangat menyambut kami dan mengantarkan kami menuju apartemen yang ternyata terletak di samping jalan di kawasan old town Tbilisi. Lasha menyediakan sepiring kue dan buah-buahan untuk sarapan. Apartemen ini dilengkapi dengan kulkas, mesin cuci dan ranjang yang empuk. Super nyaman deh. Kami pun tanpa banyak menunggu langsung merebahkan badan di ranjang yang nyaman tersebut. Setelah tertidur selama dua jam, naluri bertualang saya pun membangunkan saya. I need to explore. Meninggalkan si nyonya yang masih butuh beauty sleep-nya, saya pun berjalan ke kawasan sekitar apartemen kami.
Pagi dengan sinar mentari yang cerah menyambut saya yang masih sedikit ngantuk. Berjalan di atas jalan berbatu khas kota lama, saya mengamati bangunan sekeliling yang tua namun elegan. Banyak rumah-rumah tua bertingkat yang menunjukkan ciri arsitektur Asia dan Eropa. Beberapa jalan mirip dengan daerah Kadirga di Istanbul dengan bangunan tuanya yang mempesona. Bangunan bertingkat khas Soviet pun terlihat di daerah ini. Gedung dengan warna pastel yang catnya sudah mengelupas berdiri kokoh walaupun sudah dimakan usia. Toko-toko baru berberes untuk memulai hari. Baru beberapa jam saya di Tbilisi, saya sudah jatuh cinta dengan kota ini. A new day, a new adventure.
Further Info:
- Pengunjung dengan paspor Indonesia dapat mengunjungi Georgia dengan visa Schengen yang masih berlaku atau mendaftar E-visa dari website resmi pemerintah Georgia (silahkan klik di sini).
- Bandara Shota Rustaveli cukup modern dan anda bisa menukar uang dengan mata uang Georgian Lari (GEL) atau mengambil uang dari mesin ATM yang tersedia. Anda juga bisa membeli SIM card di bandara ini. Bandara ini terhubung dengan kereta yang beroperasi pukul 8:45 dan 18:05. Kereta akan sampai di stasiun kereta utama Tbilisi (Central Railway Station).
- Pertimbangkan juga untuk menyewa taksi jika jam kedatangan anda tidak memungkinkan untuk naik kereta. Jika anda membawa banyak bagasi terutama tas dengan trolley, akan lebih baik jika anda menumpang taksi mengingat jalanan di kawasan Old Town merupakan jalan berbatu yang tidak rata.
Buat teman-teman yang ingin mencoba menginap ala Airbnb,silahkan gunakan kode referal saya untuk mendapatkan potongan sebesar 28 Euro untuk biaya penginapan Nih link kodenya : Potongan AirBnB . Anda hanya perlu klik dan join Airbnb melalu link diatas dan voucher 28Euro akan ditambahkan di account anda. Silahkan mencoba.
[…] dari Georgia yang lahir disini. Kazbegi atau nama barunya Stepantsminda benar-benar berbeda dengan Tbilisi yang ramai dan kaya dengan bangunan unik. Kazbegi ya Kazbegi, sebuah desa sederhana dengan […]
[…] Tbilisi, Here We Come! […]