Usai mengunjungi 1453 Panorama Museum, aku pun kemudian menumpang Tram 1 Baciglar-Kabatas menuju Kabatas. Seharian berkelana dari Sultanahmet sampai ke Topkapi membuat badanku terasa lepek dan bau keringat. Saat inilah aku kemudian membayangkan nikmatnya mandi ala Turki di hamam. Niat hati mencoba hamam di Ayasofya Hamam pun terpaksa dibatalkan karena harganya yang tidak masuk akal. Mungkin karena terletak di kawasan Sultanahmet yang nota bene merupakan kawasan padat turis, harganya pun melonjak tinggi. Bayangkan hanya untuk sekedar mandi saja harganya 85 euro! Aje gile siapa juga yang mau bayar segitu.Akhirnya setelah googling, aku pun mendapatkan info bahwa bahwa ada banyak hamam bersejarah yang terletak di Istanbul dan beberapa darinya mempunyai harga yang murah. Salah satunya adalah Cinili Hamam yang terletak di Uskudar, bagian Asia dari Istanbul.
Sebagian besar turis yang mengunjungi Istanbul biasanya akan ngumpul di kawasan Sultanahmet dan Taksim yang memang identik dengan kawasan turis. Saking identiknya dengan turis, harga-harga di kawasan ini menjadi relatif lebih mahal dibandingkan dengan wilayah Istanbul yang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau kawasan ini memang “ditujukan” untuk para turis, bukan penduduk lokal. Tahukah anda bahwa di seberang sana, terpisahkan oleh Selat Bosphorus, terdapat area sebenarnya dari Istanbul tempat para penduduk Istanbul tinggal? Tempat ini adalah Uskudar yang dulunya dikenal dengan sebutan Scutari. Penasaran dengan kehidupan penduduk asli Istanbul dan rasa gerah kepengen mandi, aku pun naik ke ferry di dermaga Kabatas menuju Uskudar.
Kapal ferry yang besar ini membawaku selama 15 menit menyeberangi Selat Bosphorus menuju Uskudar. Sesampainya di dermaga Uskudar, suasana yang berbeda dengan kawasan Sultanahmet pun terasa. Lalu lalang orang yang berjalan, bapak-bapak yang duduk di kursi sambil minum cay serta lalu lintas yang padat terlihat begitu riuh ramai. Hebatnya, saya tidak melihat banyak turis di tempat ini. Hanya penduduk lokal yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Kios-kios makanan yang ramai dan bangunan Mesjid Mihrimah yang terletak dekat dengan dermaga menjadi latar kehidupan penduduk Istanbul yang sebenarnya. Aku pun sempat merasa takjub dan disorientasi dengan pemandangan ramai ini. Tidak sering aku melihat keramaian yang begitu hangat dan menyenangkan. Setelah menggoggle arah menuju Cinili Hamam, aku pun berusaha berjalan ke arahnya. Namun, setelah menyadari jalan yang menanjak dan sempat kurang yakin dengan arah yang ditunjukkan, aku pun bertanya dengan seorang penduduk lokal yang lewat. Ferid, seorang pria yang ternyata merupakan seorang dosen, ini mengatakan Cinili Hamam terletak tidak jauh dari dermaga namun jalannya menanjak sehingga lebih baik naik bis. Karena kebetulan dia juga sedang dalam perjalanan ke rumahnya yang tak jauh dari Cinili Hamam, dia pun bersedia mengantarkanku menuju Cinili. Kami pun segera naik bis dari depan Mihrimah Camii menuju Cinili.
Dalam perjalanan, Ferid menceritakan bahwa penduduk Istanbul hanya pergi ke kawasan Eropa untuk berekreasi saja, untuk tempat tinggal dan bekerja umumnya mereka tinggal di kawasan Asia seperti Uskudar dan Kadikoy. Harga-harga makanan dan minuman pun lebih murah di Uskudar karena tempat makan di sini ditujukan untuk penduduk lokal, bukan turis sehingga makanannya pun lebih murah dan orisinil. ” You can get a Pide for only 3 lira here”. 3 Lira buat seporsi Pide? Gilee..ini sih murah banget. Hamam di kawasan Asia pun tidak mahal seperti di kawasan Sultanahmet karena hamam disini beneran tempat mandi untuk penduduk lokal yang ingin relaks bukan tempat untuk iseng2 mencoba Turkish Bath untuk turis yang penasaran. Ferid yang fasih berbahasa inggris ini mengajarkanku banyak hal mengenai Istanbul bagian Asia. Setelah sekitar 15 menit naik bis, kami pun turun dan berjalan kaki di kawasan perumahan menuju Cinili Hamam.
Ferid mengantarkanku ke depan Cinili Hamam, namun sayangnya dia tidak bisa menemani masuk karena dia harus pulang ke rumah. Setelah berpisah dengan teman baruku ini, aku masuk dan mendapati Cinili Hamam sebagai hamam paling mewah dengan harga paling murah yang pernah aku kunjungi. Layaknya banyak hamam di Istanbul,Cinili Hamam adalah salah satu pemandian kuno peninggalan Kesultanan Ottoman. Bedanya, ketika mandi disini, aku tidak bertemu dengan turis asing dan hanya penduduk lokal yang mandi. Layanannya pun tidak macam-macam, hanya Turkish Bath saja, tidak ada luluran dan lain-lain seperti hamam mewah yang ditujukan untuk turis. Harganya hanya 50 lira untuk Turkish Bath, harga yang sangat murah mengingat hamam ini merupakan hamam bersejarah.Bangunan marmer yang indah dengan langit-langit berbentuk kubah dan sinar matahari yang masuk melalui celah kaca berbentuk bintang membuat aku betah tiduran di platform marmer yang hangat sambil istirahat. Ketika giliranku dipanggil untuk dipijat,mulailah saat paling seru. Seorang bapak-bapak berkumis tebal (entah kenapa pemijat di hamam selalu bapak2 berbadan besar dengan kumis yang ga nyantai), memandikanku seperti seorang anak kecil. Tangannya yang berotot kemudian membersihkan badanku dengan semacam sponge kasar untuk menyapu daki yang menempel di seluruh badan (kecuali bagian pribadi). Setelah ritual pembersihan daki selesai, aku pun “diurut” dan “dipukuli” oleh si bapak kumis. Gile deh, walaupun teriak-teriak kesakitan, si bapak malah tampak senang sambil ketawa-ketawa. Usai disiksa, aku pun kemudian lanjut berbilas dan kemudian pergi dari Cinili Hamam dengan badan yang segar.
Sebelum berpisah dengan Ferid, Ferid mengatakan kalau aku hanya perlu berjalan lurus menuruni jalan dari Cinili Hamam selama 20 menitan untuk mencapai dermaga Uskudar. Ah mudah sekali, aku pun berjalan di kawasan rumah susun di Uskudar yang saat itu sepi. Setelah berjalan melewati kawasan perumahan yang sepi dan jarang orang lewat, aku pun mulai ragu kalau ini jalan yang tepat, akhirnya aku pun memeriksa google map dan ternyata aku memang berada di jalan yang tepat. Setelah berjalan selama 15 menit, aku belum juga melihat tanda-tanda jalan raya. Sempat galau lagi namun tetap semangat berjalan, aku melewati sebuah kedai kopi dengan penampakan kopi turki yang dimasak dengan pasir panas. Karena aku belum mendapat asupan kafein hari ini, aku pun segera duduk di kursi ala Ottoman dan memesan sebuah kopi Turki yang kemudian datang dengan sajian yang mewah. Secangkir kopi dengan ornamen Ottoman yang rumit dan beberapa potong Turkish Delight menemaniku di sore yang hangat itu di Uskudar. Sambil meneguk kopi Turki, aku kemudian melihat-lihat koran Turki dengan bahasa yang tidak kupahami. Tak jauh dari tempatku duduk, dua orang perempuan muda melirikku penasaran. Mungkin mereka sangat jarang melihat pria oriental duduk minum kopi di Uskudar. Sambil tersenyum aku pun menyapa mereka dengan “Merhaba.” yang kemudian dibalas dengan kata yang sama dengan senyuman manis ala Hurrem.
Usai menghabiskan secangkir kopi, aku pun melanjutkan perjalananku menuju dermaga Uskudar. Kawasan perumahan pun kemudian berubah menjadi kawasan pertokoan dan jalan raya yang ramai. Ah akhirnya sampai juga di dermaga. Dengan segera, aku pun naik ke ferry menuju Kabatas sambil menatap ke arah dermaga Uskudar. Sampai nanti Uskudar, kelak aku akan mengunjungimu lagi.