Setelah Constantine mangkat, wilayah Kekaisaran Romawi dibagi di antara anak-anaknya Constantine II, Constantius dan Constans. Constantius berhasil menguasai wilayah dari saudara-saudaranya dan menjadi penguasa tunggal Kekaisaran Romawi. Sifat paranoid dan haus kekuasaan Constantius membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin berlawanan dengan agama yang dianutnya. Constantius memerintahkan pembunuhan terhadap saudara-saudaranya yang lain agar tahtanya aman semasa dia hidup. Hanya Gallus dan Julian yang masih sepupunya lolos dari pembunuhan tersebut. Julian yang masih kecil kemudian dikirim untuk menempuh pendidikan di Constantinople dan kemudian Athena. Julian yang dibesarkan secara kristen memiliki ketertarikan yang besar pada filsafat Yunani dan agama bangsa Romawi sebelum kedatangan Kekristenan. Kecerdasan dan kemampuan Julian dalam hal retorika dan filsafat kemudian menjadi perhatian khusus Constantius yang sedang membutuhkan orang berbakat dalam pemerintahannya. Constantius memanggilnya dan memerintahkannya memimpin pasukan untuk menaklukan suku-suku Jerman di Galia (Prancis sekarang).
Mungkin agak aneh bagi seorang Kaisar untuk mengirim seorang pelajar untuk memimpin perang, namun pilihan Constantius ternyata tepat. Julian ternyata berhasil menaklukkan suku-suku Jerman di Galia dan bahkan meraih simpati dari para tentaranya. Rasa iri dan paranoid Constantius pun muncul seiring dengan genderang perang yang kembali ditabuh oleh Kerajaan Persia. Raja Shappur meminta Constantius untuk mengembalikan Armenia dan Mesopotamia kepadanya. Untuk melemahkan posisi Julian, Constantius meminta Julian mengirimkan pasukannya yang paling berpengalaman untuk dikirim ke perbatasan Persia. Pasukan Julian yang sudah meninggalkan kampung halaman cukup lama dan kerasan di Galia memberontak dan menolak untuk berangkat ke Persia. Pasukan ini kemudian mengangkat Julian sebagai Agustus (Kaisar Senior) setara dengan Constantius. Tindakan Julian dan pengikutnya ini membuat Constantius berang dan mengumpulkan pasukan untuk menghadapinya. Sementara pasukan Persia batal menyerang, Constantius mengarahkan pasukannya untuk menghadapi Julian. Perang saudara pun segera berkobar namun Constantius tiba-tiba sakit dan meninggal.
Julian segera menuju Constantinople untuk menghadiri upacara pemakaman Constantius di Gereja Rasul Suci (Church of Holy Apostles). Pemakaman Constantius dipimpin sendiri oleh kerabatnya yang terdekat yaitu Julian.Upacara pemakaman Constantius ini adalah kala terakhir Julian menginjakkan kakinya di gereja. Julian yang telah mengingkari iman kristianinya dan memeluk agama paganisme Yunani sebelumnya selalu diam-diam menunjukkan agama barunya. Setelah naik tahta, Julian kemudian mulai terang-terangan menunjukkan sikapnya sebagai pemeluk paganisme dan pembenci kekristenan. Julian mulai mengadakan perubahan terhadap undang-undang yang disahkan Constantius mengenai penutupan kuil-kuil paganisme. Kuil-kuil yang tadinya ditutup sekarang dibuka kembali. Julian meminta gereja-gereja untuk mengembalikan subsidi dari kaisar-kaisar sebelumnya kepada kuil-kuil.Julian juga memulangkan kembali pendeta-pendeta Orthodox yang sebelumnya dibuang oleh Constantius yang pro Arianisme. Julian berpendapat penyiksaan terhadap orang kristen tidaklah efektif karena akan melahirkan martir-martir baru yang membuat kekristenan menjadi lebih kuat pengaruhnya. Julian menganggap cara paling efektif menghancurkan kekristenan adalah membiarkan para aliran-aliran kristen yang bermusuhan saling berkelahi contohnya, Orthodoks vs Arianisme.Julian melarang guru-guru yang beragama kristen untuk mengajar pelajaran Etika dan Filosofi Yunani. Ini menyebabkan kegemparan yang besar karena sebagian besar guru di kekaisaran Romawi beragama kristen. Julian juga menunjukkan simpati yang besar terhadap umat Yahudi dan bahkan membiayai upaya pembangunan Bait Allah mereka yang sudah hancur pasca penaklukkan Yerusalem oleh Jendral Titus pada tahun 66 M.Julian berpendapat umat Yahudi merupakan musuh alami kekristenan dan Julian ingin membuktikan nubuatan Yesus mengenai Bait Allah (Lukas 21:6; Matius 24:2) tidaklah terbukti. Namun ternyata usaha pendirian Bait Allah ini gagal karena ketika orang Yahudi berusaha mendirikan fondasinya, terjadi gempa bumi dan api yang menghancurkannya. Julian berusaha keras untuk membangkitkan kembali paganisme di Kekaisaran Romawi dengan membuka kuil-kuil dewa dewi yang telah ditelantarkan para pemujanya. Julian bahkan memperoleh julukan “Si Jagal” karena besarnya jumlah ternak yang dikorbankan di setiap kuil yang dikunjunginya. Namun segala upayanya sia- sia, paganisme telah ditinggalkan oleh pengikutnya. Fanatisme Julian tidak dimengerti oleh penduduknya yang Kristen ataupun pagan. Penduduk Romawi yang pagan sebagian besar hanya melakukan upacara berdasarkan tradisi. Mereka tidak benar-benar beriman pada dewa-dewi seperti Julian. Popularitas Julian pun semakin menurun.
Julian seperti kaisar-kaisar Romawi lainnya berpendapat bahwa popularitas dapat diraih dengan memenangkan peperangan. Julian pun memperbaharui peperangan dengan Kerajaan Persia. Romawi dan Persia memang musuh bebuyutan dan tidaklah sulit untuk memulai peperangan baru diantara dua negara ini. Julian pun mempersiapkan pasukannya dan meminta sekutunya Arshak II dari Armenia untuk bersiap perang. Misi Julian ini tergolong nekad karena Julian bertindak agresif berusaha mengalahkan Persia di wilayahnya sendiri. Sebagai pemeluk agama Romawi yang taat, Julian meminta petunjuk-petunjuk dewa mengenai misinya kali ini. Jawaban yang didapatkannya ternyata tidak menyenangkan hatinya. Julian tetap berkeras hati melanjutkan misinya. Julian memerintahkan pasukannya maju menuju daerah Persia dan bahkan membakar kapal -kapal pengangkutnya sendiri untuk membakar semangat pasukannya. Pasukan Julian menyerang Ibukota Persia yaitu Ctesiphon namun gagal menguasainya. Pasukan Persia yang menjalankan strategi bumi hangus membuat pasukan Julian mengalami kesulitan dalam mengumpulkan perbekalan. Julian yang kehabisan perbekalan akhirnya memilih mundur ke Samarra dan disinilah Julian menemui ajalnya. Pasukan Julian menghadapi pertempuran dahsyat dan kavaleri Romawi tidak berdaya menghadapi pasukan gajah dari kerajaan Persia*. Dalam pertempuran tersebut, Julian yang selalu bersemangat dan berani, tetap memberikan semangat dan bertempur dari atas kudanya. Sebuah tombak tiba-tiba melayang dan menghujam sisi perutnya yang tidak terlindungi oleh baju zirahnya. Julian dengan cepat dilarikan ke tempat aman dan walaupun tombak tersebut berhasil dikeluarkan dari lukanya. Julian tahu ajalnya sudah dekat. Menurut legenda, Julian mengambil sedikit darah dari lukanya dan meminumnya seraya berkata ” Kau menang, Orang Galilea**”. Julian sang Murtad telah tewas terbunuh di medan peperangan.
Ketika Julian naik tahta banyak harapan yang besar diletakkan di pundak kaisar yang dianggap jenius ini. Julian memiliki banyak keunggulan di bidang intelektual dan sifatnya yang asketik,pekerja keras, tidak menyukai kemewahan serta pemberani merupakan modal yang kuat untuk menjadi pemimpin yang hebat. Namun selain keunggulan tersebut, Julian juga memiliki kelemahan-kelemahan yang terbukti fatal. Julian sangat fanatik terhadap agama yang dianutnya serta idealismenya yang sempit membuatnya sulit dimengerti bawahannya sendiri. Julian berusaha memaksakan agama lama Romawi yang sudah diberangus oleh kaisar Constantine dan Constantius. Agama yang sudah ditinggalkan oleh mayoritas penduduk Romawi dan terbukti tidak lagi mendapat sambutan hangat. Akhirnya Julian hanya seperti Don Quixote, sang ksatria kolot yang percaya pada nilai-nilai lama yg sudah kuno dan ketinggalan jaman.
* Pasukan gajah walaupun kadang sulit dikendalikan memiliki keuntungan sendiri dalam medan pertempuran. Badannya yang besar dan baunya yang menyengat membuat pasukan kuda sering ketakutan bahkan sebelum bertempur.
** Julian memanggil orang kristen dengan sebutan orang Galilea sebagai suatu bentuk hinaan terhadap asal-usul Yesus Kristus dan pengikutnya yang berasal dari daerah Galilea, suatu daerah yang dianggap kampung oleh bangsa Romawi.
Referensi :
Brownworth, L. (2009). Lost to the West: The forgotten Byzantine Empire that rescued Western civilization. New York: Crown.
Norwich, J. (1989). Julian the Apostate. In Byzantium: The early centuries. New York: Knopf.