Selcuk, Sirince : Desa “Buruk Rupa” yang “Cantik Jelita”

Setelah puas mengunjungi Basilica St John, saya pun berjalan menuju Selcuk Otogar di bawah panasnya sinar matahari yang menyengat saat itu. Sinar matahari di musim panas memang bukan main-main. Saya yang terbiasa dengan Jakarta yang panas pun kadang merasa kewalahan. Untungnya udara di Turki kering tidak seperti di Jakarta yang lembab. Udara yang kering membuat kita tidak begitu kepayahan di bawah matahari yang terik.

Dolmus to Sirince
Dolmus to Sirince
Lembah Sirince
Lembah Sirince
Sirince Market
Sirince Market

Tujuan saya selanjutnya adalah Sirince, sebuah desa kecil yang terkenal akan keindahannya. Sirince hanya 6 kilometer dari Selcuk dan mudah untuk pergi kesana. Kita hanya perlu menumpang Dolmus (sejenis angkot) tujuan Sirince dari Otogar.Dolmus berangkat tiap 20 menit menuju Sirince namun biasanya dolmus akan berangkat jika kursi penumpang sudah penuh.Perjalanan menuju Sirince dari Otogar hanya menempuh waktu 15 menit saja.Sepanjang perjalanan kita dapat menikmati pemandangan di sekitar Selcuk yang indah. Pepohonan yang rindang, bukit-bukit yang menjulang serta rumah-rumah khas Yunani yang berdiri di lembah membuat perjalanan menuju Sirince sangat menyenangkan.

Sirince View
Sirince View
Flower Passage
Flower Passage
Salah satu rumah tua di Sirince
Salah satu rumah tua di Sirince
Jalan di desa Sirince
Jalan di desa Sirince

Sirince awalnya adalah desa yang sebagian besar dihuni oleh orang Turki keturunan Yunani. Desa ini dulunya bernama “Cirkince” yang artinya “buruk rupa”.Nama yang sungguh kontras dengan keindahan desa ini. Tampaknya, penduduk desa ini memberi nama demikian supaya orang asing tidak datang berkunjung dan turut menikmati keindahan desa mereka. Well.. i would do the same thing if I were one of them haha. Anyway, setelah Perang Kemerdekaan Turki, seluruh penduduk Turki yang keturunan Yunani kemudian dimigrasikan ke Yunani dan penduduk Yunani keturunan Turki dimigrasikan ke Turki. Pertukaran penduduk ini terjadi di seluruh daerah Turki dan Yunani.Penduduk desa yang sebagian besar keturunan Yunani dan beragama kristen ini kemudian pindah ke Yunani. Sebagai gantinya, desa ini kemudian ditinggali oleh imigran Yunani keturunan Turki yang beragama Islam.Namun, walaupun penduduknya sudah berganti, bangunan- bangunan di desa ini tetap dipertahankan. Kita masih bisa melihat rumah-rumah khas yunani yang sebagian besar dibangun pada abad ke 19 ini.

1610757_10152479268718654_411578514259069365_n

Belanjaan hari ini : sebotol anggur mulberry dan beberapa sabun minyak zaitun
Belanjaan hari ini : sebotol anggur mulberry dan beberapa sabun minyak zaitun
with the shop owner
with the shop owner
Toko Anggur
Toko Anggur

Dolmus yang membawa saya pun berhenti di tepi desa Sirince. Semua kendaraan bermotor tidak diperbolehkan masuk ke desa berbukit ini. Suasana asri tetap dipertahankan untuk kenyamanan penduduk desa yang jumlahnya hanya 600an orang ini. Pertama kali yang saya lihat ketika turun dari dolmus adalah pasar. Pasar ini dikunjungi banyak turis yang berbelanja barang-barang khas Sirince seperti minyak zaitun, sabun dan body lotion. Maklum, penduduk Sirince masih mempertahankan kebiasaan penduduk terdahulu yang pandai mengolah minyak zaitun. Selain minyak zaitun, kebiasaan lain yang masih dipertahankan penduduk Sirince adalah pembuatan anggur (wine). Ketika berjalan melewati toko anggur, saya sering diminta masuk untuk mencoba anggur khas Sirince. Sirince terkenal akan anggur buahnya.Penduduk Sirince mengolah buah-buahan seperti pisang, mulberry,cherry, apel, peach dan buah-buahan lain. Saya awalnya tidak tertarik membeli wine walaupun saya doyan sekali wine. Berpergian dengan backpack membuat saya merasa repot membawa botol anggur yang terbuat dari kaca. Ribet rasanya nenteng- nenteng botol sambil bawa tas besar di punggung dan tas selempang apalagi perjalanan saya masih panjang. Namun, setelah mencoba wine di tiga toko, akhirnya saya pun melunak. Saya membeli Mulberry Wine di sebuah toko yang bernama Girmen Bogazi.Pemiliknya menawarkan saya dua jenis Mulberry wine yang berbeda harga dan kualitas. Saya membeli wine dengan kualitas bagus hanya 20 Lira saja. Bagi saya harga ini cukup murah karena di Indonesia dengan harga 20 Lira (Rp 110rban) kita tidak akan bisa beli wine (kecuali anggur cap Orang Tua tentunya). Lagian, sebelum membeli saya sudah mencoba beberapa sloki wine buah-buahan lain. saya pun merasa agak “senang” keluar dari toko tersebut.

10532469_10152479269828654_115194274258788316_n

ruang utama Gereja St John Baptist
ruang utama Gereja St John Baptist
Mosaik yang tersisa
Mosaik yang tersisa
Fountain of Mary
Fountain of Mary

Saya pun berjalan menyusuri jalan berbatu ke bagian lebih dalam dari desa ini. Rumah-rumah khas Yunani tampak berdiri di kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah ini kini telah beralih fungsi menjadi toko atau cafe yang ramai dikunjungi turis. Tak lama saya berjalan, saya menemukan Gereja St John the Baptist yang sekarang hanya menjadi obyek wisata. Gereja yang dulunya menjadi tempat ibadah penduduk Sirince ini berarsitektur Yunani dengan mosak-mosaiknya yang sedikit tersisa. Kita dapat masuk dengan bebas dan menikmati keindahan interiornya. Walaupun tidak seindah dulu, gereja ini tetap menawarkan suatu perasaan haru bagi turis yang mengunjunginya. Saya melihat seorang bapak yang tampaknya sangat menghayati tempat ini. Dia menyentuh tiang-tiang gereja dan kadang bergumam dalam bahasa yang tidak saya pahami. Ya, saya mengerti perasaan bapak ini. Saya pun kadang suka terhanyut dalam perasaan tertentu kala berada dalam suatu bangunan bersejarah. Of all the glory in the past and now only its memory remains.

Outdoor cafe
Outdoor cafe
Lembah Sirince
Lembah Sirince
Artemis Restaurant
Artemis Restaurant
Cellar dining room
Cellar dining room
Cafe outdoor Artemis Restaurant
Cafe outdoor Artemis Restaurant

 

Setelah mengunjungi gereja tersebut, saya berjalan tanpa arah dan tujuan. Saya membiarkan kaki saya melangkah menjelajahi jalan-jalan sempit di desa ini sambil menikmati pemandangan pegunungan. Tak banyak yang bisa dilakukan di desa ini. Malah kegiatan yang saya anggap paling menyenangkan adalah jalan- jalan tanpa tujuan mengamati aktivitas penduduk dan rumah-rumah mereka. Sesekali saya berpapasan dengan rombongan turis dengan bahasa mereka yang beragam. Ibu-ibu yang menawarkan minyak zaitun serta sabunnya kepada saya. Sepasang pengantin yang sedang mengambil foto pre-wed di tepi jalan yang sepi. Puas menjelajah, saya pun akhirnya pergi ke sebuah cafe yang menawarkan pemandangan ke lembah. Saya memesan segelas kopi dan duduk menikmati ketenangan khas Sirince. Sungguh indah tempat ini. Membuat betah orang yang berkunjung. Setelah menghabiskan kopi saya, saya beranjak pergi menuju pasar untuk membeli beberapa sabun dan krim untuk adik-adik dan mama di rumah.Namun sebelum sampai ke pasar, saya menemukan Artemis Restaurant dan memutuskan untuk mampir melihat-lihat. Restoran ini menempati bangunan batu dengan arsitektur khas Yunani. Kita bisa masuk ke dalam dan melihat-lihat interior bangunan serta ruang bawah tanahnya yang juga menjadi restoran. Restoran outdoornya menawarkan pemandangan indah ke lembah Sirince. Kita bisa menikmati makan siang di bawah teras yang berhiaskan tumbuhan rambat yang membuat sejuk suasana. Saya tidak sempat makan disini karena harganya yang cukup mahal. Namun pemilik restoran membiarkan saya menikmati pemandangan di sekitar restorannya. Sungguh ramah dan baik orang-orang Turki.

10492126_10152479276238654_4944413609386435363_n

Produk kecantikan khas Sirince
Produk kecantikan khas Sirince
Cafe Kopi Turki
Cafe Kopi Turki

Saya beranjak ke pasar dan membeli beberapa sabun dan body lotion khas Sirince. Sabun dan body lotion ini dibuat dari bahan minyak zaitun dan sangat harum. Penjualnya pun baik dan ramah. Saya membeli 10 sabun dengan harga 10 Lira saja. Selain sabun dan body lotion, saya juga sempat melihat cafe yang menyuguhkan kopi khas Turki dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan pasir panas untuk merebus kopi. Sayang saya sudah minum segelas kopi hitam sebelumnya, jadi saya tidak jadi mencoba. Agak menyesal rasanya tidak mencoba, karena di sepanjang perjalanan saya di Turki, saya hanya menemukan penyajian kopi secara tradisional ini di Sirince. Ah well…selalu ada alasan untuk kembali ke Turki, mungkin mencoba kopi Turki ini salah satunya. Setelah puas berbelanja, saya pun berjalan menuju pangkalan Dolmus dan kembali ke Selcuk meninggalkan desa buruk rupa nan cantik jelita ini.

 

Things you should not miss : Sirince Market, Gereja St John Baptist, Artemis Restaurant, nyobain anggur di toko2 anggur sekitar pasar, minum kopi turki di cafe dekat pasar, jalan- jalan di sekitar desa.

Entrance Ticket : gratis

Opening Hours : all day  and night (dolmus terakhir menuju Selcuk jam 20:00)

How to get there : Sirince dapat dicapai dengan naik Dolmus Selcuk-Sirince (6 Lira pp)

 

Leave a Reply